"Hey kalian pembuat onar, ikut saya ke ruangan!" titahnya dengan nada dingin. Aku dan Maura saling tatap, tapi setelahnya kami membuang muka.

Di ruangan tim keamanan, aku dan Maura diizinkan untuk menceritakan apa yang terjadi. Di mulai dari versiku yang ketiduran di dalam kelas saat teman-temanku yang lain berada di lapangan. Nggak lupa juga aku membela diri bahwa aku bukan pelaku yang mengambil uang Fika. Selanjutnya Maura yang diberi kesempatan.

"Jadi saya dan teman saya Fika pergi ke kelas setelah pertandingan futsal selesai niatnya ingin mengambil uang untuk membeli air mineral di kantin. Kebetulan Fika cerita kalau hari ini dia habis mendapatkan transfer dari orangtuanya dan pagi tadi dia sudah menariknya dari mesin ATM. Saat Fika membuka dompetnya uang yang pagi tadi diambil sudah nggak ada. Akhirnya kami sekelas sepakat untuk bongkar tas satu persatu, dan uang itu ditemukan di dalam tasnya Sashi, sekaligus iPhone yang entah punya siapa."

"Saya tau saya sudah melanggar peraturan karena bawa handphone, tapi..."

"DIAM!" belum sempat aku menjelaskan, Maemunah itu sudah lebih dulu menginterupsi. "Saat kamu masuk ke dalam kelas beserta temanmu, di kelas itu ada siapa?" tanyanya pada Maura dengan sorot mata yang serius.

"Hanya ada Sashi yang sedang tertidur. Ini bukan pertama kalinya kelas kami kehilangan uang semenjak ada Sashi, teman satu kamarnya Sashi juga pernah kehilangan uang dengan jumlah lima ratus ribu rupiah."

Sontak saja aku terkejut mendengar penuturan itu. Sungguh itu fitnah. Aku sama sekali nggak pernah mencuri. Bunda selalu mengajarkan aku untuk nggak mengambil hak orang lain.

"Jangan ngadi-ngadi lo! Siapa temen sekamar gue yang lo maksud?" Karena terlalu kesal, di depan Maemunah pun aku menggunakan gue-lo. Jangan ditanya bagaimana ekspresinya, wajahnya itu jadi seperti ingin memakan manusia.

"Bisa kamu panggilkan orang-orang yang kamu maksud, temanmu yang kehilangan uang dan teman sekamarnya Sashi?" pinta Maemunah yang disetujui oleh Maura. Sejurus kemudian Maura pergi meninggalkan ruangan ini.

Tidak butuh waktu lama untuk Maura kembali. Ia datang bersama dengan Fika yang ada di belakangnya dan juga ... Leni? Mengapa Leni juga ikut ke tempat ini?

Otakku sudah nggak bisa berpikir lagi. Syok, sudah pasti. Mengapa Leni dan kedua sahabatku yang lain nggak pernah cerita apa-apa mengenai hal ini? Mengapa aku tahu baru sekarang?

Ya Allah, tolong aku.

"Apa benar kamu pernah kehilangan uang juga?" Kali ini Leni yang mendapat pertanyaan seperti itu. Pandanganku terus tertuju kepadanya yang dari awal masuk ke ruangan ini dengan menunduk.

"I...iya. Lima ratus ribu."

"Kapan waktu hilangnya?"

"Tiga hari sebelum ujian dilaksanakan."

Pernyataan Leni semakin memojokkanku. Kalau sebelum ini aku tahu uang Leni hilang, aku nggak keberatan untuk menggantinya, ya walaupun bukan aku yang mengambil uang itu.

Selanjutnya Fika yang diintrogasi. Sepertinya kali ini aku nggak akan selamat.

*****

Malu, sudah pasti. Saat aku dibawa paksa ke tengah lapangan dengan memakai kerudung dosa. Bahkan class meeting sempat terhenti beberapa menit. Para santriwati sibuk untuk memandangku dengan tatapan sinisnya.

Teman satu kelasku pun datang. Mereka datang bersama-sama dengan ketiga sahabatku yang aku sendiri nggak tahu bagaimana menjelaskan ekspresi mereka.

"Perhatikan semua yang ada di sini. Di depan kalian ini contoh santriwati yang tidak baik."

Maemunah berkata lantang di depan santriwati lain. Perkataannya itu sukses membawa harga diriku jatuh ke jurang paling dalam.

My Coldest GusWhere stories live. Discover now