"Ada apa, Ma?" Jantungku mendadak berdenyut kencang.

"Papa mau jelasin sesuatu," balas Mama pendek. "Ayo!" Mama melangkah ke ruang keluarga. Aku merasa tercekik saat melihat beberapa koper ada di sana.

"Ada apa ini?" semburku gemetar. Aku menjadi sangat ketakutan. Angin dingin terasa merambati punggungku.

"Duduklah, Lea," suara Papa dipenuhi nada membujuk. Aku seperti melayang, tapi tetap menuruti keinginan Papa. Kutatap wajah kedua orangtuaku berganti-ganti.

"Ma, koper siapa, itu?"

Tidak ada yang memberi jawaban. Mama dan Papa membiarkanku dalam kebingungan. Keduanya bertukar pandang selama beberapa detik.

"Pa, kenapa?" Aku mulai gemetar. Meski tidak tahu apa yang sedang terjadi, aku ditusuk oleh rasa takut. Entah kenapa, aku merasa akan ada yang runtuh di bawah kakiku.

Papa pindah untuk duduk di sebelah kananku, menggenggam tanganku dengan lembut. "Papa akan pindah malam ini juga. Papa dan Mama... akan bercerai."

Tanpa penjelasan, tanpa isyarat, tiba-tiba telingaku dihantam berita mengerikan itu. Aku terperangah, bibirku terbuka, rahangku menegang, tulang belakangku membaja.

"Papa dan Mama mau apa?" Aku merasa telingaku sudah kehilangan fungsinya dengan baik.

Mama berdeham, lalu menggeser tubuhnya ke arahku. Mama mengelus lengan kiriku dengan lembut. Saat melihat wajah orangtuaku, aku tahu masalah ini sudah diputuskan lama. Hanya saja, entah kenapa aku tidak pernah menangkap sinyal ketidakberesan hubungan mereka. Kukira, cinta di antara Mama dan Papa terlalu kokoh untuk diterbangkan badai.

Air mataku meruah tanpa bisa diadang. Aku tergugu dalam kepedihan yang pekat.

"Mama dan Papa udah nggak bisa tetap sama-sama. Kami harus berpisah."

Harus? Siapa yang mengharuskan? "Pa, kenapa jadi kayak gini?" isakku makin kencang. Aku mengguncang lengan Papa.

Papa tertunduk, terkesan menyesal. "Papa dan Mama sudah lama ingin pisah. Tapi kami berusaha mempertahankan semuanya, demi kalian. Sayang, sekarang adalah titik terendah dalam..."

"Pa, kenapa harus bercerai?" tukasku tajam. Suaraku bergetar oleh gelombang emosi dan kecamuk perasaan. Baru beberapa minggu yang lalu aku mendengar Mama berbincang penuh bahagia di telepon dengan Papa. Lalu tiba-tiba saja mereka memutuskan untuk bercerai?

"Papa dan Mama sudah terlalu sering bertengkar. Kami capek. Ini saatnya untuk melanjutkan hidup tanpa harus bersama. Kami nggak sanggup lagi hidup dalam satu atap," suara Papa terdengar dipenuhi tekanan.

Kepalaku seperti diserang oleh ribuan jarum halus beracun. Kedua orangtuaku sudah menikah lebih dari seperempat abad. Sekarang tiba-tiba saja bicara tentang ketidakcocokan?

"Aku nggak setuju Papa pindah!" teriakku.

Mama berusaha menenangkanku. Elusan lembut di punggung tidak mampu meredakan kemarahanku yang sedang menggelora. "Aku nggak mau Papa dan Mama cerai!" tandasku. Air mata masih terus berlompatan.

Andai kedua kakakku ada di sini, tentu situasinya akan jauh lebih mudah. Kini, aku yang paling belia justru harus bertempur dengan kenyataan mengerikan ini. Jika memang sudah cukup lama merasa tak lagi saling cocok, mengapa selama ini mereka bersikap seakan semuanya baik-baik saja?

"Papa dan Mama udah mencoba untuk tetap bersama. Udah mendatangi penasihat perkawinan juga. Tapi kami gagal. Maafkan kami, Nak," pinta Mama dengan suara lembut. Aku menggigit bibir. Mataku mengabur.

"Apa aku nggak layak dipertimbangkan, Ma?" tanyaku pilu.

"Bukan begitu!" sergah Papa. "Kamu dan kakak-kakakmu adalah hal yang paling berarti untuk..."

"Kalau gitu, jangan cerai, Pa!" sergahku cepat.

Mama dan Papa bertukar pandang. Kini aku menyadari kilatan kebencian yang berpendar di mata keduanya.

"Maaf Lea, kami nggak bisa mengabulkan keinginanmu."

Aku mengamuk! Mulai dari menangis histeris hingga melempar remote televisi ke dinding. Tingkahku sungguh mirip balita yang sedang tantrum.

"Aku nggak mau ada yang pisah. Aku mau Papa tetap di sini!" suaraku makin serak. Terlalu lama menangis dan menyumpah bermenit-menit telah membuatku menderita.

"Maafkan Papa..."

Sepertinya hanya itu yang bisa diucapkan orangtuaku. Permintaan maaf yang semu. Seakan-akan dengan meminta maaf maka masalah akan selesai tanpa efek buruk. Padahal, aku sudah menunjukkan gejala yang tidak sehat. Aku sepertinya mulai setengah gila. Papa dan Mama bergantian memberi penjelasan kepadaku tentang alasan mereka berpisah. Entah kenapa, semua terdengar tidak masuk akal bagiku.

"Aku nggak percaya kalau Papa dan Mama udah berencana lama untuk berpisah. Kalau iya, kenapa Mama dan Papa masih bermesraan di telepon? Mama dengan genitnya masih menggoda Papa. Apa itu artinya?" tanyaku menggebu-gebu. Papa menatapku dengan sorot aneh. Terperangah karena mendengar kata-kataku. Rahangnya tampak menegang.

Aku pun terkenang kebiasaan baru Mama. Menelepon di balik kegelapan. Terkikik-kikik penuh semangat. Tiba-tiba hatiku tertusuk oleh rasa dingin yang asing. Orang yang ditelepon Mama itu bukan Papa!

Lagu : Puspa Indah (Chrisye)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinWhere stories live. Discover now