Krishna membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu. Namun aku buru-buru mengangkat tanganku ke udara, mencegahnya berkata-kata. "Udahlah... aku capek banget. Aku mau buru-buru tidur." Aku membalikkan tubuh tanpa bicara. Aku tidak berhasrat mendengar pembelaan diri ala Krishna.

Bagi Leala Hillyawan, aku dan Krishna sudah selesai. Sudah tamat. Fin. The End.

***

Sebenarnya, tanda-tanda tak sehat sudah dimulai sejak usia pacaran kami baru tujuh minggu. Waktu itu, Krishna mengajakku ke Cipanas. Tidak ada tujuan khusus, hanya ingin menghabiskan waktu berdua. Pacarku tiba-tiba bertanya, "Lea, apa pendapatmu soal tidur bareng sebelum nikah?"

Kalimat itu membuat bokongku seakan disundut rokok. "Kenapa kamu tanya itu?"

"Cuma pengin tahu doang. Soalnya, sekarang banyak pasangan yang kayak gitu, kan? Beberapa temanku juga ada yang kayak gitu."

"Aku sih nggak setuju. Bobo bareng sebelum nikah itu ngerugiin, terutama untuk cewek. Lagian, kita tetap aja orang timur. Budaya kayak gitu nggak cocok buat kita. Bukannya aku sok alim lho ya."

"Hmm, iya sih."

"Kalau kamu? Setuju ya, hidup bebas kayak gitu?" aku balik bertanya dengan perasaan terganggu yang mencubit dadaku.

Krishna berpikir sesaat sebelum merespons. "Setuju nggak setuju sih, Lea. Kalau memang sama orang yang kucinta, sama-sama oke, kenapa nggak?"

Aku tercekat, tak mengira akan mendengar jawaban seperti itu. Tangan kananku menggosok leher dengan perasaan tak nyaman. "Kamu nggak akan ngajak aku melakukan hal-hal kayak gitu, kan?" tanyaku menginginkan kepastian.

Krishna tertawa pelan sambil menjangkau tangan kananku yang berada di atas pangkuan, mengelusnya dengan lembut. "Aku cinta sama kamu, nggak akan pernah maksa kamu kalau memang tak suka."

Nyatanya, Krishna berdusta. Dalam banyak kesempatan setelah itu, dia memberi isyarat yang selalu kuabaikan. Tentang "bikin hubungan kita hingga nggak berjarak lagi, toh kamu dan aku saling cinta". Atau "pengin nunjukin gimana caranya aku mencintai kamu, bikin kamu bahagia sampai nggak bisa lupa". Atau "ngebuktiin kalau cinta kita memang benar-benar kuat, nggak akan mudah goyah begitu aja".

Semuanya bermuara pada satu hal : melakukan hubungan seksual.

Aku membanting tubuh di kasur. Pikiranku kacau. Krishna tidak seperti bayanganku. Atas nama cinta, meminta sesuatu yang bukan haknya. Namun, aku juga punya kesalahan fatal. Selama ini menutup mata dan telinga, berpura-pura jika Krishna cuma bercanda.

Aku mencintai Krishna begitu besar. Namun aku juga mencintai diriku dengan kadar yang lebih besar lagi. Aku tahu kerugian macam apa yang akan kutanggung jika menuruti keinginannya. Aku merasakan bagaimana tubuhku bereaksi terhadap sentuhan dan pelukannya. Gadis seusiaku sedang dipenuhi hormon yang bisa membutakan jika tidak berhati-hati, kan?

Aku manusia biasa, mustahil tidak tergelitik oleh godaan. Aku punya cinta yang sangat besar, tidak mungkin mengabaikan orang yang kucintai. Aku juga sangat menyadari, cinta dibangun oleh kasih sayang, gairah, dan hasrat.

Namun semua itu tidak seharusnya membuat para pencinta melakukan hal-hal terlarang. Harga diri seorang perempuan ada di sana, pada bagaimana caranya menjaga diri. Dan aku tidak berkenan memberikannya pada orang lain, apa pun alasannya. Cinta saja menurutku tidak cukup.

Aku memainkan ponsel. Apa yang akan kulakukan sekarang? Jika menurutkan kata hati, aku sangat ingin menelepon Kimi. Namun aku segera ingat, sahabatku sedang bekerja. Bulan ini Kimi mendapat jatah shift malam. Aku menghela napas berkali-kali. Berusaha luar biasa keras untuk mengatur ritme jantungku agar kembali normal.

"Kamu sekarang punya pacar?" tanya Mama saat aku memberi tahu soal hubunganku dengan Krishna. Ya, aku terbiasa terbuka dengan mamaku untuk segala hal.

"Iya, Ma. Seniorku di kampus. Izin untuk pacaran sudah keluar, kan? Umurku kan udah lebih dari cukup."

Mama menepuk pipiku. "Mama kan nggak melarang. Tapi ingat lho ya, pacarannya jangan berlebihan. Fokus utama anak seumuranmu itu cuma satu, kuliah. Pacaran itu kayak penyemangat aja."

"Aku tahu, Ma. Nggak usah cemas, deh! Aku bisa jaga diri." Kukedipkan mata kananku.

"Oke, Mama percaya sama kamu, Lea."

"Pokoknya, pacarku cowok yang oke, Ma. Punya banyak nilai plus," pujiku kala itu.

Nyatanya, cowok yang pernah kupuji setinggi bintang itu, mengecewakan. Namun aku tidak akan menangisi cinta yang kandas ini. Ciuman masih bisa kutolerir. Dekapan sayang dan belaian kasih pun masih masuk akal. Namun, lain halnya dengan ML. Siapa dia sehingga meminta hal yang paling indah dalam hidup seorang perempuan? Kedudukan Krishna sebagai kekasih tidak lantas memberinya keistimewaan untuk berbuat sejauh itu.

Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata. Kadang ada penyesalan yang menyelusup di dalam dadaku. Sehingga melahirkan berjuta kata "mengapa" yang tidak kutahu maknanya.

Esoknya, Krishna menelepon dan berusaha membuatku berubah pikiran. Ada beberapa kalimatnya yang membuatku sontak naik darah.

"Lea, kamu nggak perlu bereaksi berlebihan sampai mutusin hubungan kita segala. Kalau kamu memang nggak mau, aku nggak akan maksa. Kamu kan tinggal bilang. Nggak perlu marah sampai ambil keputusan sepihak kayak gini. Itu cuma masalah sepele, nggak perlu bikin kita sampai berantem."

Darahku berubah menjadi magma yang menggelegak seketika.

"Masalah sepele?" Aku kesulitan bernapas. "Baiklah kalau gitu. Berarti di sini aku yang bermasalah. Aku yang kuno dan kolot. Aku yang bodoh dan nggak bisa paham sama maunya kamu."

Aku mendengar suara mendesah di ujung telepon. "Kamu tahu bukan kayak gitu maksudku! Leala, jangan munafik, deh! Aku tau, kamu juga pengin. Tapi mungkin kamu agak jual mahal. Supaya aku lebih berusaha untuk dapetin kamu. Aku nggak keberatan."

Aku tergelak pahit. Kalimat Krishna barusan agak berbeda dengan kata-kata penuh pengertian yang diucapkan cowok itu sebelumnya. Tampaknya, entah sengaja atau tidak, Krishna baru saja membuka topengnya.

"Krish, hari ini aku jadi tahu siapa kamu yang sesungguhnya. Ternyata aku salah menilai. Paling keren mungkin iya, tapi kamu udah pasti bukan cowok paling hebat. Makanya aku makin mantap untuk putus. Makasih untuk segalanya. Kita bukan pasangan yang cocok."

Aku lalu menutup telepon dan mematikan ponselku tanpa penyesalan setitik pun.

Lagu : Kala Sang Surya Tenggelam ( Chrisye)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinWhere stories live. Discover now