Saujana Cinta [1]

Start from the beginning
                                    

Aku mendadak merasa berubah menjadi Cinderella dalam semalam tatkala cowok itu menunjukkan perhatiannya yang terang-terangan setelah mulai kuliah. Kurasa, acara orientasi semacam ini bisa dimasukkan sebagai salah satu cara efektif untuk mengintai makhluk-makhluk menawan di luar sana. Barangkali selevel dengan resepsi pernikahan.

Krishna cukup jangkung, dengan berat yang proporsional. Atletis, tentu saja. Postur yang ada dalam mimpi gadis-gadis. Berkulit kuning langsat, Krishna mempunyai sepasang lesung pipit yang menawan. Rambutnya berwarna kecokelatan, tebal dan sehat. Warna bola matanya sama seperti rambutnya. Hidungnya serasi dengan wajahnya. Intinya, Krishna itu memiliki kombinasi fisik yang aduhai.

"Jangan ngeliatin dengan kagum gitu!" canda kekasihku. Dia sudah kembali duduk di depanku dengan segela jus semangka. Aku tergagap karena tertangkap basah sedang menatapnya penuh konsentrasi.

"Salahmu karena cakep," kataku berani, meski wajah terasa memanas dan perut mulas luar biasa. Aku terbiasa menunjukkan perasaanku pada Krishna. Toh, kami adalah pasangan.

Krishna menyentuh pipiku sekilas. Beberapa pasang mata memperhatikan kami. Bahkan ada yang terbatuk-batuk dengan sengaja. Namun aku dan Krishna memilih untuk mengabaikan saja.

"Kenapa kamu biarin Jordy duduk di sini? Padahal kamu tau kalau dia dan teman-teman berengseknya lagi bikin taruhan gila itu."

"Aku nggak sempat melarang, tau-tau dia udah menarik bangku," aku membela diri. Di depanku, Krishna mengaduk jus dengan sedotan sebelum mulai menyesapnya.

"Aku benci kalau ada cowok yang sengaja tebar pesona di depanmu. Apalagi yang jelas-jelas punya niat busuk kayak Jordy." Krishna menatapku sungguh-sungguh. "Aku nggak mau kamu sampai tergoda."

Aku tertawa geli sambil menggeleng. "Aku nggak akan tergoda, Krish! Aku cewek yang kuat iman," candaku.

Krishna malah cemberut. Namun dia justru terlihat menggemaskan dengan wajah seperti itu. "Aku ini pencemburu, tau! Aku nggak mau kamu didekati cowok lain. Kamu sering nggak nyadar kalau banyak cowok-cowok di kampus ini yang iri sama aku. Banyak yang pengin pacaran sama kamu, Lea. Aku udah lama dengar gosip kalau Jordy dan Marcus memang naksir kamu." Krishna menyebut nama salah satu teman Jordy. "Mereka sengaja bikin taruhan, mungkin supaya jadi tambah semangat."

"Ih, apaan, sih? Memangnya aku multivitamin?" Aku mengibaskan tangan kanan. "Udah ah, aku nggak mau membahas masalah ini. Lagian, kenapa sejak tadi kita harus menyebut-nyebut nama orang lain, sih? Nggak penting banget," protesku.

"Oke, aku yang salah. Udah kubilang, itu karena aku pencemburu," Krishna akhirnya mengalah. Cowok itu mengecek arlojinya. "Kelasmu belum mulai? Udah siang, lho! Dosenmu kan kadang masuk lebih cepat dari jadwal." Krishna mengingatkan sembari menatap tepat ke mataku..

"Kayaknya sih belum," kataku yakin setelah memanjangkan leher dan melihat melalui bahu Krishna. Teman-temanku masih bergerombol di depan ruang kuliah. "Mudah-mudahan aja kali ini sesuai jam masuk, sekitar dua puluh menit lagi," harapku.

"Hei, jangan pacaran melulu! Berempatilah dikit sama orang-orang yang belum punya pasangan." Suara yang sudah sangat akrab di telingaku itu, menginterupsi. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa yang datang. Kimi, sahabatku sejak duduk di bangku SMP.

"Lho, bukankah seharusnya kami yang mendapat empati?" bantah Krishna. Kimi menarik kursi di sebelahku. "Karena nggak gampang ketemu orang yang tepat. Jadi, kalau udah ada yang pacaran, tolong jangan diganggu," argumen pacarku.

"Lea, aku minta ini," Kimi langsung menyeruput es teh manis yang ada di depanku. Aku mengangguk pelan. Ada titik-titik keringat di pelipis dan kening sahabatku. "Panasnya pol," imbuh Kimi.

Aku dan Krishna sudah sangat terbiasa dengan kehadiran Kimi di antara kami. Tidak ada yang merasa keberatan. Kadang kami bahkan "kencan bertiga" terutama jika Kimi sedang tidak punya pacar.

Krishna melihat jam tangannya lagi sebelum berdiri seraya membenahi letak ranselnya. "Aku pulang dulu, ya? Biasa, ada kencan sama Mama," katanya sambil mengelus puncak kepalaku. Ini adalah salah satu yang kukagumi darinya. Krishna selalu menjadi anak berbakti. Mengantar dan menemani mamanya ke mana-mana tanpa keberatan sedikit pun. Tipe cowok ideal yang mungkin dianggap too good to be true oleh banyak orang.

"Hati-hati nyetirnya, Krish! Jangan ngebut, lho!" pesanku. Krishna menjauh setelah pamit juga pada Kimi.

"Kamu cinta banget sama Krishna, ya? Cuma saran, sih. Kalau cinta sama seseorang, jangan kebangetan, Lea. Sesuai porsi ajalah," canda Kimi.

"Itu kan semacam peristiwa langka, Kim! Jatuh cinta sampai kebangetan versimu itu. Nggak setiap orang yang kita cintai bisa sampai tahap itu, kan?" bantahku. "Iri, ya? Karena lagi nggak punya pacar?" godaku. Kimi mengecimus sebagai respons untuk kata-kataku.

"Sok tau!" balasnya. Kimi memberi isyarat untuk meninggalkan kantin sekarang.

Kami berjalan bersisian di koridor yang panjang. Kampus selalu ramai sepanjang hari. Tempat ini selalu membuatku merasa nyaman, merepresentasikan gambaran masa depan untukku. Begitulah aku memandangnya. Akarku sebelum kelak bergelut di bidang hukum.

"Kamu mau kerja, nggak? Ada lowongan di Medalion," Kimi menyebut nama agensi yang menaunginya sebagai SPG. "Tenang, kerjaannya di kantor, kok!"

Ini lagi. Tawaran ketiga yang diajukan Kimi padaku. Anak ini tidak pernah jenuh mengajukan tawaran serupa sejak setengah tahun terakhir ini. "Kim, aku masih belum berubah pikiran," tolakku. "Aku belum pengin kerja. Aku lebih suka beresin kuliah dulu."

"Lea, nggak ada salahnya kalau..."

Pembicaraan kami tidak tuntas karena mataku menangkap bayangan yang sangat kukenal. Buru-buru aku menarik tangan Kimi. "Ayo, Pak Dosen sudah datang," kataku.

"Lea, sakiit," gerutu Kimi. Aku tidak memedulikan protesnya. Aku memaksanya berjalan lebih cepat.

"Aku pasti akan membalasmu!" ancamnya dengan mata melebar.

Aku selalu suka membuat sahabatku itu kesal. Cara terbaik untuk melakukannya adalah menarik pergelangan tangan dan memaksa Kimi melangkah lebih cepat. Kimi selalu benci hal itu. Karena suka mengenakan sepatu berhak tinggi nan lancip, dia selalu kalang kabut jika kupaksa berlari. Beda dengan diriku yang lebih nyaman dengan sepatu model flat.

"Leaaaaa... jangan lariii...."

Lagu : Saujana (KLa Project)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinWhere stories live. Discover now