21; dua puluh satu

1K 212 2
                                    

•••








Orang-orang sibuk mencari informasi tentang perguruan tinggi. Sedang Jaemin, dia sama sekali tidak memikirkannya. Bahkan Ayah juga seperti tidak peduli. Walau sebetulnya, dia ingin Jaemin masuk fakultas olahraga dan kesehatan.

“Na, kamu pernah ngalamin masa-masa sulit gitu nggak, sih? Kayak stres, ngerasa nggak ada yang sayang, takut gagal..” Luna bercerita, karena dia begitu gelisah, takut tidak lulus sbmptn.

“Pernah, semester satu kan aku kayak gitu.” Ujarnya.

Padahal bukan hanya semester satu, namun setiap harinya. Bahkan hingga detik ini.

“Terus, cara kamu bangkit sendirian itu gimana?”

“Aku nggak bangkit sendirian. Aku dibantu banyak orang. Ada kamu, A-Ayah, orang tua Renjun juga ngebantu.”

“Orang tua Renjun?”

Jaemin terdiam sesaat. Ini bukan waktu yang tepat untuk berkata jujur pada Luna tentang mengapa dia bisa sembuh sendiri. Ralat, bukan sendiri. Dia dibantu orang-orang, dia dibantu oleh obat-obatan.

“Kalo kamu ngerasa bener-bener dibawah, ya coba aja tanya-tanya ke Renjun. Nanti dia yang jelasin,”

“Aku nggak mau,”

“Kenapa?”

“Renjun itu jutek, galak, susah diajak ngomong.”

Jaemin tertawa menanggapinya. Ternyata Luna termasuk tipikal orang yang menilai seseorang dari luarnya, dari pandangannya sendiri. Lalu, kenapa dia bisa jatuh pada seorang brandalan seperti Jaemin, kalau begitu?















“Ikan koi masih ada, 'kan? Kamu kasih nama apa, Lun?”

“Ada, namanya Nono. Soalnya mirip Lino, buntet. Tapi gemoy sedikit.”

Jaemin tertawa kecil, kemudian berhenti dan berkata,

“Namanya Mortem, ya.”







•••

Mortem [ ✓ ]Where stories live. Discover now