11; sebelas

1.3K 257 18
                                    

•••



















“Abis darimana kamu?!”

Jaemin diam, tidak menggubris. Dia menyeret ransel sekolahnya ke dalam rumah, melewati ruang tamu seolah tidak ada siapapun disana; padahal Ayah baru saja bertanya dengan nada lantang.

“Jaemin!” Serunya sekali lagi.

Jujur saja, itu membuat tubuh Jaemin gemetar; dia terlalu lembut untuk dibentak setiap harinya.

“Kenapa?” Tanya Jaemin memutar balik, menghadap Ayahnya yang duduk memperhatikan laptop.

“Duduk,”

Jaemin menurut, dia duduk berhadapan dengan Ayahnya. Masih mengenakan seragam yang berantakan. Tanpa dasi, memakai kalung, dan beberapa gelang aksesoris yang berwarna mencolok.

Setelah Jaemin duduk selama beberapa detik, Ayah menyadari sesuatu.

“Berani ngerokok kamu?” Tatapan matanya yang tajam terarah langsung pada Jaemin.

Jaemin yang ciut hanya diam, tidak mampu menjelaskan. Dia tidak mau Ayah menyalahkan pergaulan atau sampai melarangnya berteman dengan Jeno, dan yang lain.

“Jawab!” Ayah menggebrak meja dengan kepalan tangannya.

“Nyoba-nyoba, ngangetin badan doang.” Balas Jaemin gemetar.

Lalu, secangkir kopi panas mendarat di tubuhnya. Seragam yang awalnya putih bersih sekarang ternodai. Tapi bukan itu masalah intinya; kopi itu benar-benar panas.

Ayah baru menyeduhnya, bahkan belum satu teguk melewati kerongkongannya—itu sama sekali belum diminum. Karena masih panas.

“Siapa yang bolehin kamu ngerokok?!” Ayah kembali menaruh cangkir tadi dengan santai. Sedang Jaemin sibuk mengibas-ngibas seragamnya agar rasa panas yang menerpa kulitnya berkurang.

“Sekali lagi kamu bikin ulah nggak jelas kayak gin—”

“Maaf, maaf.” Ucap Jaemin berkali-kali.

Dia terdidik untuk selalu meminta maaf—bahkan untuk sesuatu yang bukan salahnya sendiri.

Dia tidak mau Ayah melanjutkan bentakannya.



















•••

Mortem [ ✓ ]Where stories live. Discover now