06; enam

1.6K 293 49
                                    

•••

















“Aaa, selamat!” Luna memberikan pelukan pelepas penat untuk Jaemin.

Kemarin, sepulang dari turnamen, Jaemin langsung mengabari Luna pertama kali. Dia membawa piala pertama dan sejumlah uang, juga sertifikat penghargaan. Spesialnya adalah dia mendapat beberapa detik pelukan berharga dari Ayah—yang dia sendiri lupa kapan terakhir kali mendapatkannya.

“Besok kita keliling alun-alun, ya? Nanti aku ajak kamu makan mie tektek sambil nontonin orang konser disana,” ucap Jaemin begitu semangat.

Luna mengajak Jaemin untuk masuk ke dalam rumahnya, duduk di ruang tamu. Keduanya bercakap panjang, menceritakan semuanya. Jaemin yang cerewet sekarang lebih banyak diam, beralih profesi menjadi pendengar setia.

“Aku stres banget, takut nggak masuk UI nanti.” Ujar Luna terdegar sedih.

Karena sekarang mereka menginjak kelas dua belas; topik bukan lagi tentang tugas, melainkan tentang kelanjutan setelah ini.

Jaemin paham, Luna adalah perempuan yang benar-benar ambis, senang belajar, dan akan mati-matian demi mencapai keinginannya; dia mau masuk perguruan tinggi ternama katanya.

“Kamu pasti bisa, kok.” Jaemin menyemangati dengan senyuman mengembangnya.

“Eh Na, kamu mau lanjut kuliah kemana?”

“Aku nggak bakal kuliah.” Balas Jaemin begitu saja.

“Nggak boleh gitu, Nana harus lanjutin belajar. Sampai jadi orang sukses,”

“Sukses nggak diukur dari gelar, Lun.”

Luna terdiam. Di lain sisi, dia terkejut sekaligus kagum dengan jawaban Jaemin. Anak badung yang hobinya bolos setiap pelajaran agama, ternyata punya pemikiran dewasa.

























“Eh, aku pulang dulu ya,”

“Buru-buru, mau kemana?” Tanya Luna, karena Jaemin mendadak rusuh.

“Mau ke rumah Bunda dulu.” Jaemin beranjak dari duduknya.

“Maaf, ya. Aku belum bisa ngajak kamu ketemu Bunda.” Lirih Jaemin. Mengingat setelah dua tahun mereka menjalin hubungan, Luna sama sekali belum pernah mengunjungi rumah Jaemin.












•••

Mortem [ ✓ ]Where stories live. Discover now