12; dua belas

1.4K 246 20
                                    

•••













“Payah, segitu doang tepar.”

Jaemin terkekeh menanggapi, “Iya, lemah.” Katanya.

Rafa mengangkat sebelah alisnya. Memperhatikan Jaemin yang naik kemudian duduk di tepian kolam, padahal dia baru turun beberapa menit yang lalu.

“Eh, serius deh. Menurut gue lo nggak cocok jadi atlet.” Ujar Rafa yang duduk bersebelahan dengan Jaemin.

Jaemin menengok, memasang ekspresi bertanya-tanya.

“Kemarin waktu kita lari, ketentuannya sepuluh keliling. Lo cuma dapet empat, terus langsung pingsan. Lagi sakit atau emang ada penyakit, sih?”

Benar apa yang dikatakan Rafa. Semakin kesini, Jaemin semakin lemah. Dia tidak kuat untuk sepuluh keliling lapangan basket. Dia tidak mampu untuk lima kali gaya bebas dalam sepuluh menit.

Padahal tidak ada yang berubah dari kebiasaan sehari-harinya. Mungkin imunnya sedang buruk, jadi dia mudah kelelahan. Muncul juga gejala seperti sesak dan wajah berubah pucat dalam sesaat—disertai ujung-ujung jari yang berubah ungu.

Tidak, tidak ada yang berubah. Namun rasa rindunya terharap Bunda semakin kuat.

“Gue kalo lagi inget sama nyokap suka gini,” Jaemin mengusap dadanya.

“Sakit-sakitan, gitu?” Tanya Rafa.

“Mungkin. Gue juga nggak paham, makin sini gue jadi nggak tahan sama suhu dingin.”

“Asma kali, coba diperiksa.”

Jaemin mengangguk, menerima masukan dari Rafa. Siapa tau dia mendapat obat agar setidaknya, imun tubunya kembali kuat dan dia bisa benar-benar sehat kembali.




















•••

Mortem [ ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang