22

2.7K 334 38
                                    

Sudah lewat 20 menit mereka, Toneri dan Saara, duduk berhadapan di ruangan private sebuah rumah makan. Meski menolak pada awalnya, toh akhirnya Saara ikut juga kemana Toneri membawanya, dan hingga kini, lelaki keturunan Hyuuga bermarga Ootsutsuki itu masih betah memandangi wajah cantik mantan kekasihnya.

"Apa kabar, Saara?"

Sungguh, dari sekian banyak kata yang ingin Toneri ucapkan, kenapa malah basa-basi yang teramat sangat klise yang justru keluar dari mulutnya?

"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja," jawab Saara. Wanita bermarga Haruno itu menundukkan kepalanya. Tak berani menatap langsung wajah lelaki yang hingga kini masih ia cintai.

Tak banyak yang tahu bahwa sebesar apapun rasa kecewanya, sebanyak apapun rasa bencinya, dan sekeras apapun usahanya untuk melupakan sang mantan, tapi hati tak bisa berbohong. Nyatanya, saat dipertemukan kembali, semua kenangan kembali menghampiri, dan sungguh ia belum siap meski berkali-kali meyakinkan diri bahwa ia akan baik-baik saja jika mereka bertemu nanti. Tapi ternyata tidak.

"Saara, aku ... minta maaf! Tapi ... apa tidak ada yang ingin kau jelaskan padaku?"

Toneri kembali membuka suaranya. Dia tahu, mereka tak bisa hanya saling diam terus seperti ini.

"Apa yang harus aku jelaskan?"

"Tentang ... anak kita." Toneri dapat melihat Saara yang terkesiap. Terlihat terkejut. Mungkin wanita itu berpikir bagaimana ia bisa mengetahuinya. Entahlah. "Kenapa kau tidak bilang padaku? Kau membuatku terlihat sangat buruk."

"Apa kalau aku bilang semuanya akan berbeda? Kau tidak menginginkannya saat itu kalau kau lupa."

"Walaupun aku berengsek, tapi aku bukan lelaki yang tidak bertanggung jawab. Dia darah dagingku, bagaimana aku bisa menolaknya?"

"Kau memang sudah menolaknya sejak awal."

"Karena aku tidak tahu kalau kau benar-benar hamil. Kau tidak bilang padaku. Aku pikir kau hanya berandai saat itu." Emosi Toneri sedikit naik. Ia benar-benar kecewa, marah, dan merasa bersalah disaat bersamaan. Lelaki itu menghela napas panjang saat melihat kedua mata Saara yang sudah berkaca-kaca. "Maaf, aku tidak bermaksud membentakmu. Aku hanya ... marah pada diriku sendiri. Maafkan aku untuk semua yang telah aku lakukan. Karena aku, kita kehilangan dia. Aku memang ... ayah yang buruk. Sekali lagi maafkan aku."

Saara menggeleng pelan. Dia tahu benar kalau itu semua bukan kesalahan Toneri sepenuhnya. Ketakutannya akan penolakan lelaki itu membuat dia sedikit irrasional sehingga melimpahkan semua kesalahan pada kekasihnya.

"Dan tentang Emili, aku rasa percuma menjelaskannya kalau kau tidak percaya. Tapi, kau benar-benar salah paham. Aku dan dia sudah tidak ada hubungan apa-apa, bahkan jauh sebelum aku bertemu denganmu. Apa yang kau lihat dulu tidak seperti yang kau bayangkan."

Saara juga tahu akan hal itu. Sejak awal dia ada di sana, bersembunyi, melihat, dan mendengarkan bagaimana wanita itu dengan gigih merayu kekasihnya meski sudah mendapat penolakan. Namun sekali lagi, dia yang tengah dilanda rasa kecewa mengabaikan semua fakta.

Mereka kembali saling diam. Larut dalam keheningan. Saara ingin marah tapi tak bisa meluapkannya. Dia tak seperti adiknya, Sakura, yang bisa berbicara blak-blakan. Meski tidak bisa disebut pendiam, Saara lebih senang menyimpan semuanya sendirian.

Toneri mendesah kecewa. Jika bisa, dia lebih memilih Saara memakinya, meluapkan segala kemarahan, ataupun kecewanya. Sejak mereka masih bersama dia tak pernah bisa menangani Saara yang diam seribu bahasa seperti ini. Diamnya wanita karena marah itu lebih mengerikan.

"Kau benar-benar membenciku, ya?" tanya Toneri kemudian. Meski bibirnya tersenyum, luka yang tersirat di matanya terlihat begitu jelas, bahkan dalam penglihatan Saara yang kini mulai mengabur karena genangan air mata. "Setidaknya aku lega kita bisa bertemu lagi, dan aku bisa meminta maaf langsung padamu, walaupun mungkin kau tidak akan memaafkanku. Aku tidak berharap kau mau memaafkanku. Aku cukup tahu diri. Kesalahanku padamu sudah sangat banyak. Kau juga mungkin sulit untuk memaafkanku."

Crush On YouWhere stories live. Discover now