6

3.6K 490 47
                                    

Hinata menidurkan Shina di box-nya setelah bayi itu tertidur pulas. Naruto memang sengaja meminta agar putrinya tidak dirawat di ruangan neonatus setelah keluar dari NICU. Beruntung rumah sakit ini milik keluarganya, jadi tidak sulit meminta sebuah ruangan khusus untuk disulap menjadi kamar bayi sementara.

Baru saja ia hendak duduk, gawainya kembali bergetar. Sasuke kembali menghubunginya. Sepertinya ia memang harus segera mengangkatnya.

"Mau ke mana, Nat?" tanya Naruto saat Hinata berjalan menuju pintu keluar tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Di ruangan itu memang hanya ada mereka berdua, jika Shina tidak dihitung. Toneri pergi bersama pamannya beberapa saat yang lalu. Mungkin ke ruangan tempat bibi mereka dirawat. Entahlah.

"Terima telepon." Hinata berhenti sejenak, dan menjawabnya tanpa menoleh, lalu setelahnya kembali berjalan. Namun, belum sempat ia menarik handle pintunya, seseorang lebih dulu membukanya dari luar.

"Kau sudah datang?"

Hinata menyapa orang itu, yang tidak lain adalah Karin. Ia memang sempat mengirim pesan pada sahabatnya, dan memintanya untuk datang.

"Aku bahkan belum sempat pulang ke rumah." Karin sedikit berdecak. "Kau mau ke mana?" tanyanya saat melihat Hinata seperti hendak keluar.

"Aku harus mengangkat telepon ini." Hinata mengangkat gawainya dan memperlihatkannya pada Karin.

"Anakmu? Atau papanya?" tebak Karin. Ekor matanya melirik ke arah Naruto yang tengah berdiri tak jauh dari mereka.

"Apa sih?" Wajah Hinata memerah entah untuk alasan apa. "Aku angkat telepon dulu sebentar, kau tunggu di sini."

"Mau berlama-lama pun tak apa. Aku sabar menunggumu kembali," ujar Karin. Perempuan itu menggodanya, dan Hinata tahu kalau Karin memang sengaja melakukannya.

"Tumben kau kemari?" tanya Naruto setelah Hinata keluar ruangan. Ia duduk di kursi yang ada di samping box Shina.

"Kalau bukan Hinata yang memintaku datang, aku juga tidak mau kemari." Karin membalas, tak lupa nada judesnya ia keluarkan. Lalu melangkah pelan menuju ke arah Naruto untuk melihat Shina.

Lama ia memperhatikan wajah keponakannya. Ia saja merasakan sakit saat melihat Shina, lalu bagaimana dengan Hinata?

"Jangan mengganggu Hinata lagi, Naruto!" Meski pelan, tapi suaranya terdengar tajam.

"Apa maksudmu?"

"Jangan kau pikir aku tidak tahu apa yang kau rencanakan, Naruto." Karin menoleh ke arah sepupunya, dan menatapnya sengit. "Apa kau tidak memikirkan bagaimana perasaan Hinata saat harus melihat Shina?"

"Shina tidak bersalah, Karin. Jangan membawa-bawa nama putriku dalam masalah ini."

"Jangan membuatku tertawa, Sepupu. Shina memang tidak bersalah, tapi dia bukti nyata perselingkuhanmu. Kau pikir bagaimana perasaan Hinata saat melihat anakmu? Apalagi sampai harus menjaganya. Kau pikir hatinya buatan Cina yang bisa didaur ulang dengan begitu mudahnya?"

Naruto terdiam, dalam hati membenarkan ucapan sepupunya. Tapi, bukankah setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua?

"Ini permintaan Shion, dia hanya ingin Hinata yang menjadi ibu untuk Shina, dan aku sudah berjanji padanya."

"Omong kosong. Aku tidak peduli." Karin tertawa kering. "Sekali lagi kau menyakiti Hinata, aku tidak akan tinggal diam. Lagipula, kau tidak lupa dengan Neji dan Kak Toneri, kan? Aku yakin mereka juga tidak akan diam saja."

Naruto kembali terdiam. Sekali lagi Karin benar. Tidak akan mudah untuk membuat Hinata kembali ke sisinya. Ia bahkan belum lupa bagaimana Neji dan Toneri menghajarnya habis-habisan. Kalau bukan Hinata yang memohon pada mereka agar menghentikan pukulan, mungkin saat ini ia sudah tinggal nama.

Crush On YouWhere stories live. Discover now