"Sedikit, Gus," jawabku lirih. Aku hanya merasa nggak nyaman di bagian paling rahasia.

"Maaf." Entah sudah berapa kali aku mendengar kata itu keluar dari bibirnya. Padahal sudah aku jelaskan, kalau aku nggak masalah karena menurut artikel yang aku baca semalam memang seperti itu.

"Nggak apa-apa, Gus."

Sugus mendekatkan wajahnya ke telingaku, lantas ia berbisik, "Terima kasih menjadikan saya yang pertama."

*****

Aku mematut diri di depan cermin meja rias. Jilbab ungu yang kemarin aku beli dengan Sugus sudah terpasang sempurna. Selanjutnya aku ingin mencoba memakai liptint, karena setelah ini Sugus ingin mengajakku keliling. Aku nggak mau Sugus terlihat sedang jalan dengan mayat hidup karena bibirku yang pucat.

Aku membuka tutup liptintnya, kemudian menguar bau wangi permen Sugus. Kali ini permen Sugus benaran ya, bukan Sugus suamiku itu. Segera aku aplikasikan liptint itu ke seluruh bibirku.

Warnanya sangat bagus, membuat kulitku terlihat lebih cerah.

"Cantik banget, sih."

Hampir saja aku terlonjak kaget saat tiba-tiba Sugus berada tepat di belakangku. Padahal tadi ia masih ada di kamar mandi.

"Gus ngagetin Sashi aja, deh."

Kalau diperhatikan baju kita matching juga karena sama-sama berwarna hitam. Hari ini Sugus memakai kaos polos dengan tampilan kasual. Bener nggak sih, kalau cowok pakai baju hitam ketampanannya semakin meningkat? Apa aku saja yang merasa seperti itu saat melihat Sugus hari ini?

"Sudah siap?" tanyanya. "Kang Amri sudah di depan tuh."

"Kang Amri?"

"Yang akan mengantar kita keliling tempat ini. Dia teman kecil saya, sekaligus sudah saya anggap sebagai kakak sendiri."

Aku ber-O ria seraya mengangguk mengerti. Setelahnya kami keluar dari villa ini. Dan benar saja, laki-laki yang aku taksir berusia 30 tahun sudah menunggu di depan pintu. Ia tersenyum melihat kedatangan kami.

"Kang ini Sashi, istri saya." Sugus memperkenalkan aku padanya. Aku menangkup tangan ke dada lantas memasang wajah ramah dan menyebutkan namaku.

"Amri, Ning," ucapnya menyebut namanya sendiri dengan logat Sunda yang kental. "Hayuk atuh ke mobil, saya sudah tidak sabar mengantar pengantin baru ini."

"Kang!" protes Sugus sambil terkekeh. Ia menepuk pundak Kang Amri. Setelah itu diam-diam Sugus meraih tanganku, lantas membawanya dalam genggaman. Sugus juga membantuku saat akan menaiki golf car yang akan mengantarkan kami berkeliling tempat ini.

Kang Amri duduk di depan sebagai pengemudi, sedangkan aku dan Sugus duduk di kursi belakangnya.

"Sewaktu dapat kabar kalian menikah, saya sempat kaget lho," ujar Kang Amri setelah golf car ini mulai berjalan. "Karena Gus baru banget pulang ke Indonesia dari Yaman," lanjutnya lagi.

Biar aku tebak, pasti Sugus cerita pada Kang Amri mengenai pernikahan kami. Oh iya, mereka kan teman dekat, pasti Sugus memberitahunya.

"Satu hari saya di Indonesia kami menikah, Kang." Sugus menanggapi.

"Maaf ya Ning saya nggak bisa datang, waktu itu pekerjaan banyak sekali," ujarnya lagi terdengar sendu.

"Iya Kang nggak apa-apa." Kali ini aku yang bersuara. "Lagi pula kami menikah juga mendadak sekali. Yang penting nanti resepsinya datang ya, Kang." Saat mengatakan itu aku menoleh ke arah Sugus, dan ia juga melakukan hal yang sama. Sugus tersenyum, ibu jarinya mengusap lembut lenganku.

My Coldest GusWhere stories live. Discover now