37. Ungkapan Rasa Yang Pernah Hilang

Start from the beginning
                                    

Dito mengangguk dan terkekeh. “Masakin.”

“Ye, kampung.”

Mereka segera beranjak dari balkon apartemen menuju ke dapur. Allesya berjalan duluan, sedangkan Dito menarik lengan kemejanya sampai siku.

“Masak telur aja, ya. Gue belum belanja, nih. Dari kemarin makan diluar mulu.” Allesya membuka kulkas sembari mengambil empat telur ayam.

Gadis itu segera mengikat rambutnya yang tergerai dan memakai apron supaya bajunya tidak kotor. Ia ingin membuat tumis telur mata sapi dengan tingkat kepedasan yang teramat sangat. Karena mereka berdua sama-sama menyukai rasa pedas.

Di sela-sela kegiatan Allesya, Dito memandang punggung dan tangan Allesya yang lincah meracik bumbu.

Gadis itu selalu terlihat cantik meskipun memakai baju apa adanya. Rambut yang di cepol membuat leher putihnya terlihat jenjang.

Hanya butuh waktu seperempat jam untuk memasak.

Allesya segera meletakkan diatas piring hasil masakannya itu. Lantas menaruhnya di meja makan, di depan Dito.

Cowok itu tidak tinggal diam. Ia segera mengambil dua piring dan membubuhkan nasi diatasnya. Dengan cepat dan hati-hati Dito meletakkan piring diatas meja makan.

“Uwih, tumben bantuin. Biasanya lo tinggal makan.” Allesya mencibir Dito dengan sinis.

“Geb, muter deh elo.” Cowok berambut cepak itu segera melepas kaitan apron Allesya. Dito menelan salivanya dengan susah payah lantaran melihat leher Allesya.

Sedangkan Allesya merasakan dada yang berdegup kencang dan pipi yang panas. Sebisa mungkin ia mengendalikan tingkahnya.

“Udah selesai, nih. Makan, yuk.” Dito segera melepas apron Allesya dan menaruhnya di tempat gantungan.

Setelah itu mereka makan dengan keadaan yang hening. Menyisakan suara dentingan piring dan sendok yang saling beradu.

***

Ting Tong ...

Tepat Dito pulang, bel apartemen Allesya kembali berbunyi.

“Dito ngapain lagi, sih? Mau istirahat juga digangguin aja.” Allesya bergumam dengan kesal.

Ia segera membuka pintu dan ...

“Hai, Allesya?”

Gadis yang disebut itu hanya menampakkan muka datarnya. Tanpa diminta sekalipun tamu itu segera memasuki apartemen Allesya.

“Ngapain kamu kesini?” tanya Allesya dengan ketus.

“Aku kangen kamu.”

Blam. Hati Allesya terasa seperti disambar petir. Haruskah ia senang atau sedih?

Gadis itu menarik napas dengan dalam. “Gak usah ngaco, Gil. Kamu itu udah tunangan.”

Agil.

Ya, orang itu. Mantan kekasihnya sekaligus saudara tirinya.

“Udah lama, ya, aku gak kesini.” Agil menengadahkan kepalanya menyapu langit-langit apartemen Allesya dan perabotannya. “Gak ada yang berubah. Aku seperti kembali disaat dulu.”

Allesya bingung dengan kedatangan Agil. Cowok itu datang dengan membawa kalimat-kalimat nostalgia.

Haruskah Allesya sedih atau bahagia? Bukankah ini yang diinginkannya?

“Gil, mending kamu keluar deh dari sini. Aku gak mau ada yang lihat dan nanti bisa jadi salah paham.”

Agil segera menatap Allesya, “Gak mau.” Ia melangkahkan kakinya mendekat kearah Allesya, yang membuat gadis itu memundurkan langkahnya.

Sayangnya, ia terjebak. Di belakang adalah tembok.

Membuat Agil menciptakan jarak yang sangat dekat. Ia menatap mata Allesya dengan dalam. “Aku gak bisa pergi malam ini. Karena aku masih cinta kamu.”

Entah kenapa kalimat itu membuat Allesya sedikit takut. Pikirannya melayang kemana-mana. Ia takut di ...

“Aku gak bakal nidurin kamu. Jangan mikir aneh-aneh, ya.” Agil seolah-olah tahu apa yang dipikirkan adik tirinya itu. Ia membelai rambut adiknya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Allesya sangat merindukan belaian itu. Tapi ... ia tidak boleh terbuai.

“Allesya, aku cinta kamu. Kamu masih cinta sama aku, kan?” Agil mengulang kalimatnya lagi dengan harapan Allesya akan membalasnya.

Shit. Sudah empat tahun dia berubah dengan susah payah Allesya berusaha menghilangkan rasa cinta. Tapi kini ... Agil datang dan mengatakan kalimat itu lagi.

Allesya segera tersenyum. Membuat Agil juga ikutan tersenyum. “Cinta itu dijalani dua orang. Kalau yang menjalani cuma satu orang, bukan cinta namanya. Tapi hanya sekedar rasa yang ada.”

Kata-kata Allesya membuat kakak tirinya itu tertegun dan mundur. Kini, gadis itu bisa bernapas dengan lega.

“Aku cinta kamu. Kamu cinta aku. Bukannya itu dilakukan oleh dua orang?”

Allesya tersenyum sinis. “Kalau kamu cinta aku, kamu gak bakal mengikat gadis lain, Gil. Kamu ninggalin aku tanpa kalimat dan alasan, dan sekarang kamu mengungkapkan rasamu itu? Egois.”

Agil mendesah pelan, “Tapi kamu sudah tahu alasannya, Allesya.”

“Iya, aku tahu. Kamu gak salah. Tapi caramu yang salah. Kita sudah dewasa. Kita sudah punya jalan masing-masing. Tak perlu mengingat hal yang sudah dulu. Karena itu cuma masa lalu.”

Apakah kalimat itu menandakan berakhirnya hubungan mereka?

Pahit atau manis, senang atau perih, semua rasa itu memang selalu berkaitan. Tapi jika salah satu sudah memiliki jalannya, maka jangan dipaksakan untuk bersama.

Takdir tidak pernah jahat, tapi kita yang menentang akal sehat.

***
Hai, man teman! Mohon dibaca!✨

Ada yang kangen part Agil dan Allesya gak? Itu udah disediain wkwk.

Hubungan Salma dan Allesya belum terungkap, nih👻

Jika kalian gak sabar buat tau, kalian harus ngevote hehe, maksa ini!

Kali ini aku mentargetkan vote sebanyak 30+!♥
Janji deh abis part ini, part berikutnya hubungan Salma dan Allesya ya.

Jika vote belum terpenuhi, mohon maaf tidak bisa update.

Ayolah, masa yg baca banyak yg vote komen cuma dikit hehe. Saling menghargai yuk.🤗

Vote kalian adalah dukungan buat aku. Pumpung lagi puasa nih, insyaallah dapat pahala jariyah. Semangat puasanya, ya!🙏

See you next part!♥

ALLESYAWhere stories live. Discover now