37. Ungkapan Rasa Yang Pernah Hilang

788 47 3
                                    

Pagi beranjak menjadi malam. Malam yang ditemani bulan dan bintang dengan cahaya temaramnya.

Menerangi dua manusia yang sedang duduk di balkon apartemen dengan cerita-cerita yang sangat rumit dipikirkan.

Dito mencoba untuk membuka suara, “Lo punya rahasia apalagi?”

Allesya menatap Dito sekilas dan memandang langit yang berwarna biru tua dengan kerlap-kerlip sebagai hiasannya. “Tapi lo bakal percaya, kan?”

Dito mengangguk dengan tatapan lurusnya.

Hening hingga lima menit. Dito sibuk dengan pikirannya, Allesya pun demikian.

“Dito sebenarnya gue itu ....” Gadis itu mulai membuka suara dan menggantung kalimatnya hingga membuat Dito menoleh. “Jangan bahas ini dulu. Kita bahas soal Agil dulu aja, gimana?”

Cowok yang di mintai persetujuan itu hanya manggut-manggut, “Kalau gue pikir-pikir, kenapa gue harus mikir?” Ia mengusap dagunya.

Pertanyaan itu membuat Allesya keki sendiri. “Apaan, sih, elo! Gue lagi serius.”

“Hahaha, gak usah tegang amat kali.” Dito terkekeh dengan gurih.

Gadis berambut panjang itu kembali mengatur napasnya. “Dito, kalo lo ngelihat gue itu benci sama Agil apa gimana, sih? Gue bingung.”

Cowok beralis tebal itu menatap Allesya. Ia mengubah posisi duduknya yang tadinya sama-sama menghadap depan, kini saling berhadapan.

“Alle, kalau lo tanya soal itu ke gue, jujur gue gak tau. Karena yang tau jawabannya, yang tau gimana rasanya, itu elo bukan gue.” Dito menatap mata Allesya dengan serius.

“Di otak gue, rasanya itu benci banget. Tapi di hati gue yang paling dalam, gue kecewa sama keadaan.”

Allesya sudah tau rasa ini. Tapi ia tidak tau apa arti dari perasaan ini. Perasaan yang membuat malamnya tak nyaman. Perasaan yang membuat pagi siangnya tak bergairah.

Dito mengangguk. “Semua yang tau jawabannya elo, All. Perlu gue ingatkan, bahwa kebencian itu impas. Elo mandang dia buruk, dan dia mandang elo juga buruk.”

Cowok itu menepuk pundak Allesya dengan lembut. “Pertanyaannya, apakan elo mandang dia buruk?”

Tangan Dito berpindah posisi di dada tengah Allesya, dengan jari telunjuknya ia menyentuh dada itu dan berkata, “Coba cari jawabannya disana. Barangkali ketemu.”

Sikap Dito yang seperti inilah yang seringkali membuat Allesya salah tingkah. Ia lebih suka jika cowok itu bersikap konyol dan gila. Namun, seiring bertambahnya usia, berkurang jua gilanya.

Allesya justru lebih bingung lagi dengan perasaannya ketika Dito memberikan perhatian lebih saat ia sedih, galau, terpukul, dan lainnya. Dito yang gila terlihat sangat dewasa dan bijaksana.

Namun, ia tidak berharap untuk memiliki Dito dengan seutuhnya. Karena ia tahu, jika ia bahagia maka kata kehilangan akan terulang.

“Semenjak semuanya terbongkar, sikap Agil ke gue perlahan-lahan berubah, Dit. Sampai pada saat ini, gue merasa kalau sama sekali engga kenal dia.”

Dito menghela nafasnya dengan panjang. “Dia engga berubah. Hanya saja dia sedang memperlihatkan sifat aslinya.”

Allesya terbelalak mendengar jawaban Dito, membuatnya segera bertanya, “Sifatnya emang gitu, Dit?”

“Hm, entahlah.” Cowok yang masih memakai kemeja kantor itu mengendikkan bahunya.

Allesya mencebikkan bibirnya. Ia teringat satu hal, “Eh, lo belum makan, kan?”

ALLESYAWhere stories live. Discover now