12. What Heppen?

1.5K 58 9
                                    

“Dival!”

Dival menoleh ketika dipanggil dengan sangat keras dan menyimpan akan amarah. Ia hanya melengos ketika mengetahui siapa yang memanggil namanya.

“Woi, berhenti lo!”

Lagi. Teriakan dari mulut orang yang sama. Ia terlihat sangat murka dengan Dival. Ia segera berlari untuk menyusul Dival.

Bugh!

Satu hantaman mendarat mulus di sudut bibir kiri Dival. Darah segar mengalir. Dival segera mengusap darahnya dengan kasar.

“Apalagi sih, Gil? Lo gak pernah bosan-bosannya nyari masalah mulu sama gue.” Ucap Dival dengan kesal. Ya, memang Agil orang yang sejak tadi meneriakinya dan juga memberi satu bogeman kepada Dival.

“Lo tanya mau gue apa?” Tanya Agil dengan sinis. “Mau gue, lo jangan sampai mendekati Allesya! Dia gadis yang baik, jangan pernah sentuh dia, dan jangan pernah coba-coba buat ngelukai hatinya!” Ucapnya lagi.

Hey, what's wrong, Man?” tanya Dival. “Lo nyuruh gue buat gak mendekati Allesya, emang apa hak lo, hah?!” Ucapnya dengan geram dan juga membalas hantaman yang diberikan Agil.

“Dia cewek baik-baik, jangan pernah sentuh dia! Lo kotor!” Sarkas Agil sembari membalas  hantaman Dival.

“Bangsat lo, gak ada sopan-sopannya sama gue!” Murka Dival.

“Emang lo siapa, harus banget gue sopan sama lo, hah?!” Balas Agil.

Mereka meracau sendiri di sela-sela baku hantamnya. Agil yang memaki-maki Dival, begitupun sebaliknya, Dival juga memaki-maki Agil.

Untung saja jam sekolah telah usai, jadi, tidak akan ada orang yang melihat dua orang yang sedang beradu otot ini. Mereka mengeluarkan semua kekesalannya, hingga mereka sama-sama terkulai lemas di tanah.

***

Sementara itu, Allesya sedang berada di toko buku. Ia mencari-cari buku yang menarik untuknya. Ia berada di toko buku ini sudah 30 menit, tapi tak ada satupun buku yang berhasil menarik perhatiannya.

“Esya?” Lagi-lagi nama panggilan itu yang terdengar. Allesya mendengus kesal tanpa melihat orang yang memanggilnya.

“Esya, kamu kesini sendirian?”

“...”

“Esya, kenapa kamu gak jawab omonganku?”

“...”

“Esya...” Panggilnya lagi sembari memegang pundak kiri Allesya.

“Oh, lo dari tadi ngomong sama gue?” Tanya Allesya tak peduli.

“Iya, Esya,”

“Nama gue bukan Esya.”

“Ya sudah. Kamu mau beli apa?”

“Ya beli buku lah, lha wong iki ning toko buku. Masa iya mau beli gincu!” Jawab Allesya ketus.

Iso wae koe iki loh, hehehe,” kekehnya.

Allesya tidak menggubris kekehan dari mulut orang itu. Ia adalah Rangga. Satu-satunya orang yang memanggilnya ‘Esya’. Untuk sekarang dan seterusnya, Allesya merasa muak dan jijik mendengar nama panggilan itu. Biar saja Allesya menjadi orang yang arogan. Karena ia akan tetap seperti itu.

ALLESYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang