31. Buku Diary

649 43 7
                                    

Typo betebaran😃



Dimas melangkah lemas menuju sofa.
Menjatuhkan tubuhnya, dan melemparkan tas kerjanya ke atas meja.
Pria berusia setengah abad itu memijit pelan tengkuknya.
Pikirannya berkecamuk saat ini.

Perkataan kakak iparnya—ayahnya Zeus membuat dia berpikir saat ini.

Pranadipa Company.
Pukul 13.02
Jam makan siang adalah hal yang ditunggu oleh para pegawai.
Selain mereka bisa makan, mereka bisa berhenti dari pekerjaannya sejenak.
Tapi tidak bagi Diamas.
Pria itu tetap duduk di bangku kebesarannya dan menandatangi banyak dokumen.

Pintu di ketuk.
Dia mengijinkan orang yang mengetuk pintu untuk masuk.
Dimas tak mengalihkan wajah dari dokumen ysng dia baca ini.
Dia mengabaikan orang yang menghampirinya itu.

"Dimas!"

Pria itu mendongak kala mendengar panghilan itu.
Dia tahu bahwa yang datang saat ini bukanlah pegawainya.
Karena pegawainya tidak akan berani memanggilnya seperti itu.

Matanya membulat terkejut lantaran yang berada di hadapannya saat ini adalah Kaindra—kakak iparnya yang merupakan ayah Zeus.

"Ada apa kak? Tumben berkunjung kemari," ujar Dimas.
"Mari duduk di sofa," ujar Dimas sembari menuntun Kaindra duduk.

"Jadi apa tujuannya datang kemari?" tanya Dimas langsung.
Pria itu tahu bahwa kakak istrinya ini tidak akan suka jika berbasa-basi.

"Ku dengar Gita berkuliah di Harvard, dan lagi minggu depan dia wisuda. Kau tak menghadirinya?" tanya Kaindra langsung.
Dia mengetahui hal tersebut dari anaknya, karena anaknya itu berencana akan menghadiri acara wisuda Gita, karena Dimas tak bisa datang.

Mereka tak tahu saja, bahkan selama ini, Gita membiayai kuliahnya sendiri.

Dimas terdiam mendengarnya.
Dia tahu bahwa Gita berkuliah di Harvard, tapi pria itu tak berpikir darimana Gita mendapatkan uang untuk membiayai kuliahnya.

"Untuk saat ini aku tak bisa pergi ke sana. Lihat dokumenku di sana. Masih bertumpuk. Lagipula dia akan pulang setelah wisuda. Kita rayakan saja di sini," ujar Dimas.

Kaindra menghela napas mendengarnya. Pria ini bukannya tidak tahu kelakuan dari adik iparnya.
Dia menatap intens ke arah Dimas.

"Dimas, sampai kapan kau seperti ini?" tanya Kaindra yang membuat kening Dimas mengerut.
Kendatipun, jantungnya berdetak dengan cepat. Dia seperti sudah menduga ke mana arah pembicaraan ini.

"Aku tahu masalah kesedihan dan ketidakterimaan mu itu. Aku paham. Tapi itu bukan salah dari putrimu itu. Dia bahkan rela menukarkan nyawanya demi putri mu itu. Itu artinya dia menyayanginya. Dia pasti kecewa melihat tingkahmu seperti ini kepada Gita," ujar Kaindra.

Dimas hanya terdiam mendengarnya.

"Jangan kau pikir aku tidak tahu kelakuan mu selama ini kepada Gita. Otakmu di mana? Kau bisa memimpin perusahaan, tapi tak bisa memimpin keluargamu. Keluargamu hanya hanya beranggotakan tiga orang," ujar Kaindra tak habis pikir.

"Mungkin aku tidak tahu mendetailnya. Tapi mendengar kau tak membiayai Gita dari mulai dia duduk di bangku taman kanak-kanak, aku sudah paham bagaimana. Kau keterlaluan. Rasa tak terima mu itu berlebihan. Kau egois, pengecut, dan tak bisa berpikir logis. Pikiranmu ke mana?" Kaindra mulai emosi.
Awalnya dia hanya ingin datang dengan niat baik-baik. Eh, malah mengungkapkan emosinya.

"Otakmu ke mana Dimas? Kau menelantarkannya dari kecil! Lebih baik kau membuangnya dulu ke panti asuhan dari pada membuatnya seperti ini! Kau tak berpikir bagaimana kondisinya? Kondisi mentalnya? Kau mana peduli! Kau tak berpikir dia sempat ingin bunuh diri? Hah? Kau tahu?" nada bicara Kaindra mulai meninggi.

Bitterness Life [Selesai]Where stories live. Discover now