43

359 51 11
                                    

Haikal membuang nafas ketika roda empat miliknya berhasil terparkir lurus menghadap sebuah kafe dengan dinding kaca di hadapannya. Dari sudutnya kini Haikal bisa melihat sepasang pria dan wanita yang tengah duduk berhadapan, si pria tengah berceloteh heboh dengan mengikutsertakan gerak tangannya sementara si wanita tengah tertawa lepas, benar-benar lepas sampai membuat Haikal sadar bahwa tawa itu tak pernah muncul dihadapannya.

Dari balik dinding kaca itu Haikal bisa melihat Saddam dan Sabia yang entah kenapa begitu tampak serasi malam ini, mungkin karena blouse biru Sabia senada dengan warna jaket denim Saddam, atau mungkin karena tawa mereka yang begitu selaras. Yang mana pada akhirnya membuat Haikal tersadar sudah sejauh mana ia melewati batas, menjadi sosok yang berdiri diantara mereka berdua. Haikal berusaha untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri, tapi kehadirannya diantara hubungan Saddam dan Sabia yang entah harus disebut apa itu sepertinya benar-benar tidak diinginkan.

Sejak dulu yang selalu ada untuk Sabia adalah Saddam. Sejak dulu yang mengisi hari Saddam adalah Sabia. Lalu Haikal? Kehadirannya membuat itu semua jadi berjalan tak semestinya. Haikal hadir untuk menjadi dinding buram antara dua orang itu, menjadi pembatas atas gerak-gerik mereka yang sedikit banyak mulai merubah keadaaan. Sejak awal memang tak seharusnya Haikal memaksakan kehendaknya untuk hadir di ruang yang sudah berpenghuni.

Dan malam ini ketika Haikal pada akhirnya menyadari itu semua, ia sudah tau apa yang harus ia lakukan.

Haikal mengurungkan niatnya untuk masuk dan menghakimi Sabia, memaksanya memilih dirinya atau Saddam, Haikal tersadar bahwa itu tak akan memperbaiki keadaan. Yang ada justru akan membuat Sabia merasa tertekan dan Haikal masih punya perasaan tulus untuk tak melakukan itu. Jadi pilihannya hanya satu.

"Hallo" sapa Haikal saat sambungan telfonnya di balas Saddam di ujung sana, mata Haikal bisa melihat gerak kikuk Saddam yang langsung berdiri menjauh dan menghindari tatapan curiga Sabia.

"dimana lo?"

"Dam"

"apa? Ehh, lo udah nyampe? Gue liat mobil lo. Buruan turun, kaya renca-"

"Dam, You win. I'll let her go" ucap Haikal mantap. Tak langsung ada tanggapan berarti dari Saddam, dia justru berdiri termenung didepan pintu kafe masih dengan ponsel tertempel ditelinganya.

"ngomong apa sih lo? Nggak gitu rencananya!"

"plan B" balas Haikal sambil mencoba menyisipkan tawa. Tawa pedih yang entah bagaimana keluar sebagai bahan tertawaan dirinya sendiri atas pilihannya.

"nggak ada plan B! Lo jangan ngaco buruan masuk!"

"nggak, gue nggak bisa. Gue nggak mau nyakitin Bia, Dam. Lo bayangin aja gimana kaget dan sedihnya Bia kalo tiba-tiba kita todong bareng-bareng cuma buat minta kejelasan"

"terus mau lo apa? Mau ngehindar? Apa sih? Gue keluar ya kalo lo nggak mau turun dari mobil" tantang Saddam yang sudah memegang ganggang pintu kafe.

"jangan!" cegah Haikal cepat menghentikan langkah Saddam.

"Dam, bukannya ini yang lo pengen? Gue nyerah Dam, gue bakal ngambil langkah mundur dari kehidupan Sabia. Dan lo bisa jadi the one and only buat Sabia kaya dulu lagi, yakan?"

"tapi bukan kayak gini, kita harus ngomong!"

"enggak. Anggep aja ini usaha terakhir buat menyelamatkan sisa harga diri gue karena nyerah dari lo. Yang jelas sekarang gue cuma mau lo janji buat jagain dia"

"Kal-"

Pip

Sambungan telfon itu langsung di putus Haikal seiring dengan gerak cepat tangannya memutar roda kemudi dan mengijak gas, buru-buru beranjak dari tempat itu, tak membiarkan Saddam sempat memproses semuanya dan berlari keluar kafe hanya untuk mendapati sedetik berikutnya mobil Haikal sudah melaju pergi.

ιστορία - ISTORIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang