42

356 57 14
                                    

Albar tau kecanggungan akan menjadi nuansa utama yang harus ia hadapi ketika dua bersaudara yang sudah lama tak bertegur sapa itu akhirnya duduk berhadapan di satu meja makan. Memang tanggapan macam apa yang bisa Albar harapkan ketika seorang adik harus kembali berbagi udara dengan kakak yang dulu mati-matian menyebutnya gila dan sudah siap memasukannya ke dalam rumah sakit jiwa? Setidaknya melihat Dara dan Rio tidak saling memaki dan melukai satu sama lain sudah dari cukup.

Akhirnya setelah menuntaskan semua persyaratan bebasnya Rio resmi keluar dari balik jeruji besi. Tidak mudah tentu saja karena pemotongan masa jabatannya harus di tarik ulur berbulan-bulan. Tapi tidak termasuk sulit juga ketika Rio jelas memiliki sosok ayah yang siap mengorbankan uang untuk melihat anaknya bebas dan tak lagi menorehkan tinta merah di catatan kehidupan dan karirnya.

Kemarin Rio keluar dari lapas, dan dengan niat baik Albar menawarkan diri untuk berbicara pada Dara kalau mereka bisa kembali tinggal di satu atap yang sama seperti saat-saat dulu kala, ketika mereka masih kerap berbagi canda tawa tanpa pernah tau bagaimana kedua orang tuanya saling menyiksa dan menginjak harga diri satu sama lain.

Maka jadilah kini mereka bertiga tengah duduk bersama untuk menikmati sarapan yang di bawa Albar dari rumahnya. Jangan di tanya, tak ada satupun diantara mereka yang buka suara bahkan setelah bermenit-menit berlalu, bahkan Dara dan Rio juga belum sedikitpun berbicara satu sama lain sejak Rio tiba kemarib. Alasannya cuma satu, mereka masih merasa begitu asing atas keberadaan satu sama lain, seolah tak pernah ada jalinan persaudaraan yang mengikat mereka.

"nanti ada rencana mau kemana Yo?" tanya Albar yang sebenarnya juga tidak terlalu pintar berbasa-basi, tapi melihat keadaan yang mungkin tak akan berubah kalau ia tak turun tangan membuat Albar pada akhirnya buka suara.

"mau ke tempat temen kayaknya"

"temen?!"

"iya, temen SMA dulu. Santai bukan temen yang bikin gue jadi bego terus make narkoba" jelas Rio saat menyadari tatapan menghunus yang di lemparkan Dara.

"kalo kamu Dar? Nanti Callista jadi dateng buat ngajarin make up sama bikin kue?"

"jadi, tadi kak Callista juga nawarin biar dia aja yang belanja bahannya sekalian abis ngampus. Ingetin ya nanti nuker duit dia"

Albar mengangguk-angguk mengerti.

"balik kerja jam berapa bar?" kini ganti Rio yang bertanya.

"sore, jam 4 keluar kantor"

"mampir sini lagi nggak?"

"mampir kok"

Sudah genap seminggu berkat campur tangan orang tuanya Albar mendapat pekerjaan di sebuah anak perusahaan oli dan gas terkemuka, sambil menunggu jadwal pesta kelulusannya yang akan berlangsung masih dua bulan lagi. Walaupun berkerja di perusahaan ternama, tidak dipungkiri bahwa Albar tak terlalu bangga akan pencapaian tersebut, selain karena peran kedua orang tuanya tapi juga karena fakta bahwa orang yang paling di benci kekasihnya yang tidak lain adalah ayahnya sendiri merupakan pemegang saham terbesar di perusahaan itu. Entah siapa yang benar-benar bisa membuat Albar berkerja disitu, yang jelas ia tidak suka dengan fakta-fakta yang menunjukan bahwa itu semua diraihnya bukan atas kerja keras sendiri.

"enak ya Bar, gue jadi pengen"

"apa?" tanya Albar bingung, apalagi ketikan menemukan senyum tipis di bibir Rio.

"jadi orang kantoran, kerja. Tapi siapa coba yang mau ngasih kerjaan mantan tahanan yang bahkan nggak lulus kuliah macem gue"

Albar tersenyum tipis menertawakan nasibnya lagi, karena tak ada satupun yang bisa di banggakan dari fakta soal pekerjaannya, andai saja Rio tau.

ιστορία - ISTORIAWhere stories live. Discover now