28

383 62 5
                                    

Minggu pagi dan Albar sudah memarkirkan mobilnya dihalaman rumah Dara. Seperti dugaannya gadis itu lagi-lagi lupa mengunci gerbang depan membuat siapapun dengan mudah memasuki rumah dua lantai tersebut. Lampu di teras depan juga belum dimatikan, menandakan sang penghuni tunggal rumah itu pasti masih terlelap dalam alam mimpinya.

Tanpa perlu mengetuk pintu, Albar yang selalu membawa duplikat kunci rumah itu dengan leluasa masuk dan mengamati kondisi rumah yang bisa dikatakan berantakan setelah seminggu di tinggal pembantu rumah tangganya dengan alasan sudah tidak sanggup harus mengurus rumah besar itu seorang diri. Padahal dibalik alasan itu Albar tau pasti apa yang membuatnya lebih tidak tahan mengurusi rumah yang hanya dihuni kekasihnya itu.

Melangkah lebih dalam, Albar memutuskan untuk memberhentikan diri di dapur, menghidupkan kompor dan memasak air panas serta menyiapkan roti tawar dan selai kacang keatas meja makan. Tak berselang lama derap langkah kaki menuruni tangga dengan keengganan memasuki telinga Albar, membuatnya otomatis menengok dan menemukan Dara dengan muka bangun tidurnya berdiri diambang pintu.

"duduk Dar, aku buatin susu coklat" ucap Albar sambil menghampiri gadis itu mengusap pucuk kepalanya dengan lembut dan menggiringnya duduk di kursi makan.

"ngapain kesini pagi-pagi?" tanya Dara dengan suara serak khas bangun tidur.

"kamu nggak lupakan hari ini jadwalnya buat apa?" tanya Albar balik sambil menyodorkan segelas susu coklat hangat kehadapan Dara, membiarkan gadis itu meneguknya dan mengabaikan pertanyaan balik Albar barusan.

"abis ini langsung mandi ya, udah jam 8. Jadwalnyakan jam 9. Takut kena macet" perintah Albar yang sekali lagi tak mendapat balasan berarti dari lawan bicaranya.

Setelah sekitar setengah jam kemudian roda empat Albar menggelinding dan membawa pasangan itu ke sebuah tempat dimana mereka mengikat janji setiap bulannya.

Selama perjalanan tak ada sedikitpun pembicaraan berarti terjadi diantara keduanya. Albar bisa melihat suasana hati Dara tidak cukup baik hari ini, maka Albar berusaha untuk membuatnya tak bertambah buruk dengan menanyakan macam-macam. Biarlah kalau Dara mau bercerita ia akan menceritakan masalahnya itu sendiri dengan suka rela. Lagi pula Albar juga bukan tipe orang yang mampu membujuk orang lain untuk membuka diri dan menceritakan isi kepalanya dengan leluasa kepadanya. Jadilah satu-satunya melodi yang mengalun diantara kesunyian kedua orang itu hanyalah deru nafas masing-masing bahkan sampai mereka sampai ke tempat tujuan mereka, tempat pertama kali mereka bertemu, tempat dimana Albar dengan sadar mengikat janji pada Tuhan untuk menjaga gadis mungil disampingnya kini.

Bukan wajah asing untuk tempat itu membuat tak jarang beberapa sapaan dari para petugas berseragam putih mengiringi langkah keduanya, membuat Albar membalasnya dengan senyum tipis dan anggukan sopan.

"Dara, tumben dateng siang. Ayo udah di tunggu Doktor Maia" ucap salah satu wanita dengan potongan rambut pendek di balik meja pendaftaran.

"aku masuk dulu" pamit Dara pada Albar yang pada akhirnya memutuskan untuk duduk di kursi tunggu.

"minggu kemaren kenapa nggak dateng konsul Bar? Kenapa nggak telfon juga?" tanya sosok wanita berambut pendek tadi setelah mengantar Dara masuk kesebuah ruangan.

"lagi nggak kondusif Sus, Dara nggak mau. Kata Doktor Maia kalo Dara nggak mau mending jangan dulu" balas Albar sambil memainkan jemari tangannya gelisah.

"iya sih bener, nggak boleh dipaksa. Tapi obatnya nggak pernah kelewat diminumkan Bar?"

"nggak kok Sus" balas Albar pendek. Setelahnya tak sedikitpun ada pembicaraan diantara keduanya.

Albar sendiri memilih untuk memainkan ponsel miliknya, sementara si suster sibuk dengan pekerjaannya. Suasana di selesar rumah sakit itu cukup ramai di hari minggu, beberapa teriakan anak-anak yang tengah bermain di taman rumah sakit menjadi salah satu pengusir keseunyian.

ιστορία - ISTORIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang