Rintik 10

7 1 0
                                    


Setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Begitu juga dengan Zoe.



#Selamat membaca 😊




      Rintik hujan telah jatuh perlahan membasahi bumi. Setelah memesan taksi, Zoe mematikan ponsel. Moodnya sedang kurang bagus untuk berbincang melalui sosial media. Khususnya, Zia. Karena hari yang semakin gelap ditambah hujan, Zoe memutuskan untuk tidak menunggu Zia. Dia tak peduli jika lelaki itu akhirnya membaca pesan atau panggilannya lalu dia menyusul ke mall. Mencari Zoe yang sudah hilang di bawa taksi.

     Setelah membayar taksi, Zoe segera masuk ke dalam rumah. Berhubung hujan lambat laun semakin lebat. Zoe membuka pintu utama, menyeret kakinya perlahan. Seluruh tubuh terasa pegal luar biasa seakan hampir remuk. Ingin segera merebahkan diri di atas kasur. Bermimpi indah lagi.

     Saat gadis itu hendak naik ke anak tangga, tak sengaja dia melihat makanan tersaji di atas meja. Yang membuat matanya berbinar adalah ada udang asam manis di meja tersebut. makanan kesukaannya. Zoe memegang perut, dia memang belum sempat makan dari pagi. Akhirnya dia memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu sebelum tidur.

     “Pasti ini masakan buatan mama yah?” tanya Zoe kepada Aviel yang sedang duduk di meja makan dengan laptop di depannya. 

     Zoe menghela nafas ketika Aviel tidak menanggapi pertanyaannya. Gadis itu menarik tempat duduk. Tapi, pergerakannya terhenti ketika Kaula muncul dari dapur.

      “Ngapain kamu?” tanya Kaula ketus.

      “Ma_makan mah.” ada apa ini kenapa mamanya berubah ketus seperti itu? Perasaan dari kemarin Kaula sikapnya manis sekali.

      “Ini semua buat Ursa bukan buat kamu!”

      Zoe mengerutkan kening tidak mengerti, “Maksud mama?”

     Tiba-tiba Aviel menutup laptopnya dengan kasar, “Setelah apa yang kamu lakukan terhadap kami, kamu masih mau minta jatah makan?!”

      Zoe semakin tidak mengerti. Aviel bangkit berdiri mengobrak abrik dokumen-dokumen yang menumpuk. Lalu dia mengeluarkan selembar kertas. Zoe tertohok melihat kertas ulangan yang bernilai 70 itu ada di genggaman Aviel. Setahunya kertas ulangan itu sudah disimpan baik oleh Ursa. jauh dari jangkauan orangtuanya.

     “Ini apa?” tanya Aviel datar sebari menunjukan hasil ulangan fisika Zoe.

     “Ayah, mama, Zoe bisa jelasin semuanya. Zoe memang masuk kelompok nilai di atas rata-rata_”

     “Nilai di atas rata-rata? Ini bukan di atas tapi pas rata-rata!” bentak Aviel.

     “Maafin Zoe udah bohongin kalian, maaf Zoe nggak bisa jadi harapan kalian.” Zoe berusaha untuk menahan sekuat tenaga air mata yang ingin keluar. Sungguh, sakit di ulu hati terasa dua kali lipat. Zoe tidak sanggup untuk menahannya.

     “Memang tidak bisa.” Sambung Kaula.  “Kamu bukan anak yang bisa diuntungkan, lihat saudara-saudaramu. Mereka sukses meraih masa depannya. Ursa, dia bisa mendapatkan beasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri. Karena apa? Dia tekun belajar, tidak pernah menyia-nyiakan waktu seperti halnya kamu!”

     Ini yang tidak mau Zoe dengar. Di banding-bandingkan dengan orang lain atau sanak saudara yang memang sudah sukses dengan kariernya. Yang lebih menyakitkan adalah ketika Zoe dibanding-bandingkan dengan Ursa, kakaknya sendiri. Bagai tertusuk belati, menancap di dalam ulu hati. menggoreskan luka yang lama kelamaan semakin mendalam.

     “Kami jadi heran, kamu itu sebenarnya anak siapa sih?!” tanya Aviel.

     Zoe yang sedari tadi hanya menunduk menahan telinganya yang sudah terbakar. Refleks mengangkat wajah. Tertohok mendengar pertanyaan Aviel yang seakan tidak mau mengakui Zoe sebagai anaknya.

     “Kenapa kamu tidak seperti saudara-saudara lain yang memiliki otak cermelang? Otak kamu begitu kecil seperti otak udang!

     Lagi dan lagi Aviel menghina Zoe seperti itu. Otak udang, begitu kecil dan pasti tidak akan muat untuk menyerap semua pelajaran. Otak udang bisa diartikan dengan bodoh. Tidak becus melakukan apapun. Tidak punya kreativitas, tidak punya kemampuan dan keahlian. Tidak ada. Dan kedua orangtuanya menganggap Zoe seperti itu.

     “Kamu menggunakan otak udangmu ini untuk menghasut Ursa agar menyembunyikan kertas ulangan ini. Agar kamu terbebas dari amukan kita berdua, bukan begitu?!” tanya Kaula.

     Dadanya seakan sesak, air mata itu perlahan mengalir, tidak bisa ditampung lagi. Zoe menghapus bulir air itu dengan punggung tangan. “Ma_maafin Zoe.” suaranya tersendat-sendat.

     “Setelah perbuatan kejimu ini, hanya kata maaf yang terucap? Kamu kira ini gampang, seperti membalikan telapak tangan?!!”

     “Zoe janji akan belajar lebih keras lagi.”

     “Janji saja terus, tidak ada satupun yang kamu tepati. Nilai 70 itu memalukan di keluarga kami. Kamu harusnya bisa meraih nilai minimal 80!”

     “Apa kamu sudah mampu menggeser si peringkat pertama? Atau kamu masih berdiri di peringkat kedua?!”

     Ungkapan-ungkapan yang bertubi menembakinya bagai pistol yang mengeluarkan seribu satu peluru. Membuat kepala Zoe mendadak pening. Dia tidak bisa lagi mendengar apapun karena kepalanya seakan terbelah dua.

     “Tidak ada makanan hari ini, jangan sentuh apapun. Makan angin aja sana!” larang Kaula.

     Zoe mencoba untuk kuat. Menahan tubuhnya yang sudah lemas luar biasa. Lalu, dengan langkah gontai, Zoe menyeret kakinya menaiki tangga. Masuk ke dalam rumah, lalu menjatuhkan diri di atas kasur dengan posisi tengkurap. Zoe bisa melihat tangannya gemetar. Hal yang lumrah jika Zoe tidak memberi asupan apapun ke perutnya.

     Ingin sekali Zoe protes, mengeluarkan semua curahan hatinya yang paling dalam. Memamerkan kemampuan dia yang sudah bisa bersahabat dengan nada-nada piano. Ingin sekali Zoe meneriaki orangtuanya bahwa Zoe adalah salah satu siswa kebanggaan sekolah. Guru-gurunya selalu bangga akan prestasi Zoe. Zoe tidak pernah berbuat curang atau melanggar peraturan. Zoe selalu jujur. Tapi, kata-kata itu semuanya seakan tersendat di tenggorokan. Entah kenapa mulutnya kelu untuk mengeluarkan suara. Sebut saja Zoe tidak berani protes karena memang seperti itu kenyataannya.

      Setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Begitu juga dengan Zoe. Tapi, orangtuanya seakan memaksa Zoe untuk meraih kata sempurna. Mengikuti jejak sanak saudara yang sukses menguasai perusahaan besar dan tersohor. Padahal, mengurusi perusahaan bukan passion Zoe. Dia memiliki kemampuan lain, yang berbeda dari mereka semua. Termasuk kakaknya.

     Gadis itu tak sengaja melirik ke arah balkon kamar. Zoe perlahan bangkit. Mengeluarkan tali berbahan kain yang sudah diikat satu sama lain. Lalu, dia pergi ke balkon. Menjatuhkan kain itu dari pembatas sampai menyentuh pijakan tanah. Zoe menali ujung tali itu dengan erat ke pembatas balkon. Lalu, perlahan Zoe turun meluncur ke bawah.

      Jangan kaget, Zoe sudah biasa melakukan ini. Ketika hatinya sedang gundah, atau ketika seluruh tubuhnya seakan mau hancur dihujani amukan orangtua. Maka Zoe akan kabur. Setidaknya menghirup udara malam, pergi ke tempat sepi, mencurahkan semua kesakitannya. Zoe akan merasa lebih baik.

***

Perfetto [Selesai]Where stories live. Discover now