t e r i m a k a s i h

5.1K 775 21
                                    

Parameswara

"Kos kalian dekat?" Tanya pak Indra membuyarkan lamunan singkatku.

Aku berdeham. "Beda satu gang sih, pak. Tapi ntar turunnya barengan nggak pa-pa pak,"

Aku nggak bisa menyembunyikan nafasku yang masih sedikit menggebu-gebu. Dari lantai 12, aku memang sedikit berlari karena ngejar solat Magrib di rumah. Niat hati langsung pulang tepat waktu, tapi tiba-tiba Citra minta tolong ke aku untuk meng-copy beberapa materi untuk meeting besok Rabu, alhasil aku harus rela untuk over time.

Aku pun juga nggak sengaja lewat basemen karena aku menitipkan helm di post satpam setelah aku minta tolong untuk dicucikan sewaktu istirahat makan siang tadi. Sampai aku menemukan pak Indra yang nggak tahu akan ngapain Sabrina.

Entah, aku nggak berani menengok ke belakang. Sebelum masuk mobil tadi, aku melihat tangan Sabrina bergetar hebat. Aku tahu dia sangat kaget. Atau takut.

Mobil mulai memasuki gang yang aku arahkan. Poin nya disini adalah aku nggak tahu dimana Sabrina tinggal. Aku hanya mengarahkan pak Indra ke alamat kos Bagas dulu sebelum dia membeli rumah dan tinggal bersama Andari. Kos Bagas dulu di sekitaran kantor persis, nggak sampai lima menit, kami sampai.

"Nah, ini kos bu Sabrina. Kalau kos saya di gang belakangnya pak," kataku ketika mobil sudah berhenti.

Pak Indra mengangguk-angguk sambil mengamati rumah dua tingkat bergaya minimalis itu.

"Terima kasih pak Indra," Sabrina membuka pintu dan bergegas keluar.

Aku pun pamit dan segera menyusul.

Pak Indra pun hanya mengangguk dan sebelum berlalu, dia mengamati Sabrina dari spion depannya.

Ketika mobil sudah bergerak, aku menengok ke Sabrina. Dia masih diam berdiri sambil terus memandangi mobil pak Indra yang sekarang sudah hilang di belokkan.

Ada helaan nafas berat setelah itu.

"Nggak pa-pa 'kan kita turun disini?" Aku memastikan.

Sabrina mengangguk. "Saya kos di gang seberang,"

Aku nggak tahu harus berbuat apa, tapi aku ingin segera mengantar Sabrina pulang. Dia benar-benar seperti mayat hidup; cuma bisa berkedip dan ngomong seadanya.

"Aku antar ya," kataku.

Di luar dugaan, Sabrina mengangguk.

***

Aku sampai di depan rumah tempat Sabrina tinggal tepat ketika adzan magrib berkumandang. Gagal sudah mandi dan magriban di rumah. Mana harus balik ke kantor dulu ambil motor. Pak Sulis; satpam di kantor, pasti sudah bingung mencari aku kemana karena dia yang aku titipi helm.

Saat Sabrina sedang sibuk membuka gembok pagar, aku bertelepon sebentar dengan pak Sulis untuk memintanya mengunci saja pos satpamnya karena aku akan langsung pulang naik ojek ke rumah.

Setelah telepon selesai, aku mendapati Sabrina memandangiku dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

"Kamu bawa motor?" Tanyanya datar.

Aku mengangguk.

"Maaf sudah merepotkan," kata Sabrina lirih. Matanya tidak benar-benar menatapku. Manik matanya berkeliling, melihat sekitar. Aku tahu dia masih sangat ketakutan.

Ah, aku harus bagaimana, ya. Aku memang lihai menangani perempuan. Bukan bos perempuan. Sebenarnya aku sungkan.

Karena tidak ada obrolan lagi dan Sabrina juga sudah bersiap untuk masuk rumah, aku berniat pamit. "Pulang dulu ya," kataku.

PUKAU (Complete)Where stories live. Discover now