k e s a n & p e s a n

8.4K 929 19
                                    

Parameswara

Aku mendorong pintu rumah setelah mengucapkan salam. Disusul balasan salam dari Paradisa, adikku yang paling kecil. Sekaligus yang paling rantau sekarang.

"Kapan dateng, Ya?" aku merebahkan tubuhku di sampingnya yang sedang asyik menonton New Girl season–berapa, ya?

Adik perempuanku ini sudah semester akhir di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Seminggu sekali pulang ke Solo, setiap hari Jum'at—kalau nggak malas, kemudian balik lagi ke Yogyakarta pada Minggu sore, atau Senin paginya.  Hari Senin ini, Disa balik karena libur semesteran.

Yaya, panggilan Disa di rumah, menoleh. "Tadi siang."

"Dijemput Rama?"

Disa hanya mengangguk-angguk. "Mas Wara tumben pulang malem?"

Nggak terlalu malam sebenarnya. Ini masih pukul setengah delapan malam. Ya, mungkin Disa juga heran karena biasanya mendapatiku sudah ada di rumah sebelum magrib tiba. Pulang telatku ini beralasan!

Sebelumnya, aku nggak pernah terlalu menaruh perhatian dengan pepatah 'look can be pleasing, yet so deceiving', tapi setelah makan siang dan rapat perdana dengan si  bule KaDiv baru, pepatah tadi seolah melompat-lompat mengejek tepat di depan mukaku. Pada awal rapat, mungkin aku dibuat terpesona dengan penampilan si KaDiv baru, tapi setengah jam berikutnya, aku dipaksa mengalami gejala stroke ringan karena nggak ada angin, nggak ada hujan, si bule minta seluruh draft, laporan, dan materi personnel research direvisi. Semua.

Untung cantik, Ya Allah, kalau nggak udah aku selepet wajah judesnya pakai kain pel lobi kantor.

"Lembur," jawabku lesu.

"Lembur apa ngeluyur?" seru suara satu lagi yang datang dari balik punggungku.

Aku menemukan Rama memasang wajah datar andalannya. Adikku yang lain. Yang sebenarnya cukup heran aku anggap adik. Tapi kalau sehari aja tanpa ada si kanebo kering satu ini, aku giting ngerecokin kemana ini orang.

Timbrungan pertanyaan dari Rama, nggak aku jawab.

"Ya, tolong buatin mas mie goreng dong," kataku kepada Disa kemudian.

Disa, lagi-lagi, yang masih asyik dengan percakapan bodoh Zooey Deschanel dan lawan mainnya yang entah siapa, menoleh riang. "Boleh," jawabnya. "Habis segmen ini ya, tapi,"

Dude, bersyukur lah punya adik perempuan. Apalagi yang penurut seperti Disa ini.

"Mas Rama juga tolong buatin ya, Ya? Sekalian." Rama kembali nimbrung. Kini, dia malah ikut bergabung duduk di sebelah Disa.

Aku mendadak risih. "Melu-melu!" hardikku sebal ke adik laki-lakiku itu.

Rama melengos cuek.

"Iyaaa," balas Disa lagi.

Sesaat kemudian, ponsel yang baru saja aku matikan mode pesawatnya, tiba-tiba berdering.

Aku hampir saja membanting ponselku karena mendadak gerah dengan satu panggilan yang muncul di layar.

Sofia.

Mau aku flight mode lagi, juga mana tega.

"Halo, Sof?"  aku menyerah.

"KAMU DIMANA PARAMESWARA?!" balas seseorang di seberang sana. For your information, ini nggak aku loudspeaker, ya. Tapi udah kelihatan 'kan betapa kencangnya suara Sofi barusan?

"Baru aja balik kantor, sayang," jawabku nelangsa.

Disa dan Rama yang ada di sampingku serempak menoleh. Mereka berdua kompak geleng-geleng. Sebuah gerakan dasar ketika menyadari bahwa kakak mereka berdua adalah seseorang yang brengsek.

"Sesibuk apa, ya, sampai nggak sempat telepon atau balas chat aku?" nada bicaranya sedikit memelan.

Aku menghela nafas pelan. "Hapeku ketinggalan di mobil,"

"Jawabnya kok singkat begitu, sih?"

Really? Woman nowadays?

"Aku capek banget, sayang. Aku tidur duluan, ya. Aku minta maaf udah cuekin kamu seharian. Kamu istirahat, ya?"

Ada dengusan di seberang sana. "Yaudah,"
Rasanya aku pingin salto sekarang juga mendengar Sofia nggak melanjutkan omelannya.

"Besok aku sarapan di kantor kamu, ya. Aku masakin nasi goreng."

Crap.

Ada apa dengan angan-angan Sofia sih.

Yaudah lah, masih bisa dipikir besok. Yang penting, sekarang kupingku bebas dari ancaman pidato proklamasi dari Sofia. Sesaat kemudian, telepon ditutup.

"Diandra?" tanya Disa ketika aku sudah meletakkan ponselku di nakas.

Aku mendengus. "Sofia,"

Rama mengernyit. "Siapa lagi, Sofia ini?"

"Kamu yang ketinggalan zaman. Aku putus dari Diandra udah lama banget, Ya,"

Rama dan Disa saling berpandangan. "Fun. Kalau sebulan yang lalu udah boleh dibilang lama banget," cibir Disa.

Aku mesem.

Selamat datang di life statement-nya Parameswara. Seorang pria, yang menurut 'mereka' paling nggak bisa tahan dengan wanita. Wanita yang harus takluk dengan seorang Parameswara, bukan Parameswara yang tunduk dan patuh kepada para wanita—

"Mas Wara, tolong pijitin kepala Yaya yang sebelah sini dong,"

Ya, kecuali sama Disa. Nurut deh kalau buat adik paling kecil ini. Bidadari di rumah setelah Ibu dan mbak Paras. Beuh, Ibu mah apa lagi, mending nurut aja daripada resiko masuk neraka lewat jalur undangan.

Aku pun memijat pelan sisi kanan kepala Disa. "Yaya sakit, ya?"

Disa menggeleng, kemudian nyengir jahil. "Engga sakit apa-apa. Cuma pingin nyuruh-nyuruh mas Wara aja, hehe,"

Pernyataan Disa langsung kubalas dengan cubitan kecil di hidungnya.

"Aku udah pingin nambah kakak perempuan lagi nih, mas,"

Aku belum mau menanggapi. Rama juga diam.

"Mbak Paras, jauh di Bandung sana. Mas Rama nggak pernah bawa cewek ke rumah—"

"—ya, dia mana bisa bawa cewek ke rumah, Ya, pengalaman pacaran aja nggak ada." Potongku.

Rama masih diam saja. Sudah ku bilang 'kan dia itu duplikatnya kanebo kering.

"Kalau mas Wara," Disa diam sebentar, kemudian bangkit dari duduknya. "Kebanyakan bawa cewek  ke rumah,"

Aku gondok. Ada suara kekehan kecil dari Rama.

"Seleksi  itu, Ya, namanya," aku membela diri.

"Kasihan tahu, mas,  datang ke rumah, dikenalin ke Bapak – Ibu, tapi hubungannya begitu-begitu aja. Kayak diaudisi dan semuanya kena eliminasi,"

"Yeu! Bocah!" cibirku sambil hendak meraih kepala Disa untuk on the way menjitaknya. Tapi dihadang oleh Rama dan berakhir Disa berlalu ke dapur.

"Pertimbangan tuh. Tahun depan udah 28 tahun lho," kata Rama akhirnya.

"Ngaca woeeee.."

"I did. I just don't show you." Balas Rama cuek.

Shit. Emangnya kenapa sih?

PUKAU (Complete)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora