m e n i k m a t i s u r a k a r t a

3.7K 617 17
                                    

Parameswara

Sabrina pernah bilang kepadaku bahwa sepanjang dirinya pindah ke kota Solo; perjalanan paling jauh yang pernah ia tempuh adalah dari kantor ke rumahku. Tempat tinggalnya nggak usah dihitung deh, lha wong tempat tinggalnya berada persis di belakang kantor.

Sisanya, dia nggak pernah sekali pun berkeliling di jalanan kota Solo ini. Maka dari itu, atas inisiatif tinggi seorang Parameswara dan atas dasar empatinya kepada Sabrina yang seperti manusia goa, setelah sore kemarin kami habiskan dengan jajan es krim berdua, maka pada sore hari ini, kami berniat untuk jalan-jalan keliling kota Solo menggunakan motorku.

Karena takut banyak kepergok anak-anak kantor, aku mengusulkan agar aku dan Sabrina keluar sebelum jam kantor selesai. Tapi, namanya juga aku sebagai karyawan yang nggak tahu diri, sementara Sabrina adalah kepala Divisi yang teladan, ideku tadi sempat ditolak mentah-mentah.

Tapi, bukan Parameswara kalau dia nggak ahli dalam membujuk wanita. Dengan iming-iming langit sore kota Solo, Sabrina bersedia keluar sebelum jam kantor usai. Karena aku yang turun duluan, aku sudah menunggunya di gang belakang gedung kantor.

Sebelumnya, aku sudah bilang ke Sabrina kalau jalan-jalan keliling kota, lebih afdol kalau naik motor. Maka dari itu, untuk berjaga-jaga, aku sudah memperingatkannya untuk nggak memakai rok. Jenis apapun. Selain karena alasan keamanan, aku sudah pernah bilang 'kan kalau Sabrina itu punya tungkai kaki yang bagus?

Maaf-maaf saja, ya, tapi misiku kali ini adalah mengajak Sabrina keliling kota sambil melihat pemandangan langit sore kota Solo. Bukan keliling kota sambil memberikan pemandangan ke pengendara lain. Enak aja.

Nggak sampai 15 menit, aku melihat Sabrina berjalan menghampiriku. Masih dengan setelan kemeja kerjanya, tapi midi skirt yang dikenakannya pagi tadi sudah berganti dengan straight jeans. Begitu juga dengan heelsnya yang sudah bertransformasi menjadi Nike andalannya.

Aku menengok arlojiku; pukul empat sore lewat lima belas menit. Tepat sih ini.

Setelah Sabrina memasang helm yang aku bawakan, dia naik ke boncengan.

"Aku melakukan ini demi langit sore yang kamu janjikan, ya, Wara.." ancamnya saat motorku mulai melaju pelan.

Aku terkekeh. "Iya," perlahan, aku mengatur spion motor, berusaha menjajari pantulan wajah Sabrina yang ada di belakangku. Aku bisa melihat matanya berkeliling, seperti asing, tapi juga seperti ingin tahu.

Dan, cuaca sore ini juga sangat mendukung. Jangankan mendung, awan-awan di langit pun tampak biru.

Aku bisa merasakan, sepanjang perjalanan, Sabrina terus menerus memotret langit sore ini dengan handphone-nya. Tangan kirinya memegang pundakku, sedangkan tangan kanannya sibuk cekrek-cekrek. Sungguh multitalent.

Tanpa sadar, aku tersenyum. "Kamu suka?"

"They were all yellow, Wara.." Seru Sabrina sambil mencondongkan kepalanya ke pundakku.

Benar, langit sore ini menguning dengan indah. Mendengar seruan Sabrina, aku langsung teringat salah satu lagu Coldplay yang berjudul Yellow.

Lagu lama itu seperti mengalun kencang di kepalaku.

Your skin, oh yeah, your skin and bones
(Ooh) turn into something beautiful
(Aah) and you know
For you, I'd bleed myself dry
For you, I'd bleed myself dry

Dari Jalan Gatot Subroto, yang penuh mural dan warna, menuju jalan Diponegoro yang benar-benar riuh, khas lalu lintas kota Solo, sampai ke daerah Mangkunegaran yang semakin lama diperhatikan, sudut-sudutnya semakin indah meskipun setiap hari dimakan usia.

PUKAU (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang