tiga belas

3.9K 394 62
                                    

Dear diary,

Ini adalah hari ke-7 setelah aku sadarkan diri sejak kejadian yang hampir membuat Pelangi-ku kenapa-kenapa dan aku masih tidak tahu aku berada dimana serta bagaimana keadaan Pelangi sekarang.

Papah dan eyang tidak pernah mau menjawab pertanyaanku tentang kejadian itu, mereka selalu mengatakan bahwa aku harus segera pulih supaya aku bisa melanjutkan kehidupanku. Damn, aku hanya ingin tau keadaan Pelangi, itu saja, dimana salahnya?

Ak-

"Shaka," panggil Erlangga-ayahnya-membuat Shaka langsung menutup buku diarynya.

"Sekarang kamu makan terus minum obat, oke?" lanjutnya sambil tersenyum kepada putri semata wayangnya itu. Erlangga sempat sangat terpuruk saat keadaan Shaka tidak kunjung membaik, dia bahkan menyalahkan dirinya sendiri kenapa harus mengirim putrinya itu ke kampung halamannya bukan malah menyuruhnya mengikuti tes ujian masuk kuliah. Tapi setelah Shaka mulai sadarkan diri perlahan kepercayaan dirinya pulih dan dia bersumpah akan melakukan yang terbaik untuk Shaka.

Shaka yang sejak awal sudah pasrah dengan semua ini hanya mengangguk kemudian memakan bubur hambarnya itu dengan susah payah. Dia tidak suka rasa hambar, bahkan Shaka akan lebih memilih memakan bubur buatan Erlangga yang sering dia bilang terlalu asin daripada bubur hambar ini. Oh, tidak, tidak dua-duanya, lebih baik bubur buatan eyang yang super enak dan tidak pernah membuatnya bosan.

"Nanti papah ke Jakarta dulu ya selesaiin beberapa urusan, kamu disini ditemenin sama eyang. Papah janji nggak akan lama," kata Erlangga.

Shaka mengangguk. "Iya pah. Aku udah makannya, bosen makan bubur hambar."

Erlangga terkekeh. "Makanya cepet sembuh biar bisa makan yang lain," katanya kemudian mengacak poni Shaka.

"Aku udah sembuh," kata Shaka membela diri.

"Oh ya? Kalo udah sembuh kenapa masih disini coba?" tanya Erlangga membuat Shaka bingung harus menjawab apa.

"Kamu istirahat lagi aja, papah mau keluar dulu." kata Erlangga kemudian mengambil baki makan Shaka dan menaruhnya di nakas.

Shaka diam menatap kepergian sang ayah, dia menatap buku diary yang sudah beberapa hari menemaninya. Hanya di buku itulah dia bisa mencurahkan kekhawatirannya tentang Pelangi. Shaka menghela nafas saat mengingat wajah ketakutan milik Pelangi, jika saja dia terlambat mungkin hal lebih buruk akan menimpa gadis itu, bukan malah menimpanya tapi itu justru akan membuatnya merasa semakin terpuruk.

Jika boleh dan bisa diutarakan dengan kata-kata, Shaka merindukan Pelangi. Dia ingin melihat atau paling tidak mengetahui kabar dari Pelangi dan memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja, sejauh ini itu saja sudah cukup bagi Shaka. Tapi kenyataannya, keinginannya yang sesederhana itu menjadi sulit karena keadaan.

"Shaka!" panggil seseorang dengan suara familiar yang seketika membuat Shaka sedikit sumringah mendengarnya.

Shaka tersenyum saat melihat orang itu masuk ke dalam ruang rawatnya.

"Gimana keadaanmu sekarang Ka?" tanya orang itu—Arin—sambil melihat-lihat kondisi Shaka saat ini.

"Alhamdulillah baik," jawab Shaka.

"Aku sebenernya mau kesini dari kemaren-kemaren tapi ada UTS jadi ditunda dulu," kata Arin sedikit lesu.

"Nggak apa-apa kok. Pelangi apa kabar?" tanya Shaka to the point membuat Arin sedikit terkekeh.

"Kabar Pelangi baik kok, tapi..." jawab Arin menggantung membuat Shaka menaikan satu alisnya.

"Tapi dua hari lalu dia dijemput sama ibunya terus diajak pindah ke kota tempat ibunya tinggal. Jadi Kak Anggi udah nggak tinggal disini lagi," lanjutnya membuat raut wajah Shaka yang tadinya lumayan cerah berubah murung.

"Kenapa gitu?" tanya Shaka penasaran.

"Jadi kata ibuku, orangtua Kak Anggi itu udah pisah sejak Kak Anggi masih kecil dan ayahnya Kak Anggi yang dapet hak asuh anak. Karena kebutuhan hidup yang terus bertambah akhirnya ayah Kak Anggi pergi merantau dan Kak Anggi dititipin ke paman dan bibinya yang disini, aslinya Kak Anggi juga bukan orang sini, dia pindah pas udah lulus SMP dan lanjut SMA disini. Aku nggak tau sih cerita kehidupan keluarga Kak Anggi yang dulu itu gimana, yang jelas sekarang ibunya dateng buat jemput Kak Anggi buat tinggal bareng dia, apalagi pas tau ada kejadian begini, ibunya Kak Anggi marah besar dan nggak ada bantahan Kak Anggi langsung dibawa sama dia." terang Arin membuat lidah Shaka seketika kelu. Pelanginya pergi begitu saja tanpa dia tahu bagaimana kedaannya sekarang. Terakhir, terakhir kali Shaka melihat Pelangi sebelum dia jatuh pingsan demi apapun, Shaka tidak akan membiarkan Pelangi berada di dalam posisi itu lagi. Bahkan dengan taruhan nyawapun Shaka bersedia.

"Kamu tau kemana Pelangi pindah?" tanya Shaka penuh harap.

Arin menggeleng pelan membuat Shaka langsung mengusap wajahnya dengan frustasi. Ah, harapannya untuk tahu kabar tentang Pelangi apalagi bertemu dengan Pelangi seketika sirna saat mengetahui hal ini. Shaka merasakan nyeri di dadanya membuat dia sedikit mengaduh kesakitan.

"Kamu kenapa?" tanya Arin panik saat melihat Shaka memegang dada kirinya.

Shaka menggeleng dan hanya bisa tersenyum lemah. "Nggak, aku nggak apa-apa Rin."

"Beneran Ka? Biar aku panggilin dokter ya?" tawar Arin yang langsung dibalas gelengan oleh Shaka.

"Nggak perlu, aku baik-baik aja kok. Cuma disini, rasanya sakit pas aku tau kenyataan bahwa aku nggak bisa lagi ketemu Pelangi, jangankan ketemu, dengar kabarnya aja belum tentu, dia dimana aja aku nggak tau." kata Shaka dengan nada sedih.

"Astaga Shaka..."

•••

Shaka menatap ayahnya dengan kesal, bukannya mendapat kabar bahwa dia sudah diperbolehkan pulang tapi malah kabar bahwa dia harus dipindahkan ke rumah sakit yang lebih bagus demi memastikan keadaannya benar-benar pulih yang tentu saja akan membuatnya menghabiskan waktu lebih lama di tempat yang bernama rumah sakit. Oh ayolah, itu mimpi buruk bagi Shaka, sudah cukup seminggu ini dia mendekam di kamar rumah sakit. Tidak lagi besok, lusa, atau beberapa hari lagi, Shaka tidak mau.

"Ini demi kesembuhan kamu, papah mau kamu bener-bener pulih. Nanti setelah kamu sembuh, kita bicarain soal kamu mau kuliah dimana ya? Hukumannya udah selesai jadi kamu nggak perlu tinggal di rumah eyang lagi." kata Erlangga membuat Shaka hanya bisa mengangguk lemah, pasrah. Toh Pelangi juga sudah pergi entah kemana, tidak ada alasan kuat untuknya kembali rumah eyang. Tapi jika saja Pelangi masih disana, pasti Shaka akan menolak dan malah meminta hukumannya ditambah saja.

"Tapi aku mau pulang pah," kata Shaka lemah.

"Kita pulang kalo dokter udah ijinin kamu pulang," kata Erlangga.

"Iya."

"Nurut sama papah ya? Ini semua demi kebaikan kamu," kata Erlangga sambil mengusap kepala Shaka.

"Iya pah,"

Erlangga tersenyum kemudian meninggalkan ruang rawat Shaka. Meninggalkan Shaka yang masih bertanya-tanya tentang apa yang sedang Tuhan rencanakan terhadap hidupnya hingga Dia seolah memperumit keadaan. Ah, jika boleh meminta dia ingin sekali saja bertemu—melihat keadaan Pelangi dan memastikan gadis itu baik-baik saja. Tapi apa boleh buat alam tidak merestui bahkan sebelum keinginan itu terucap alam sudah merenggut Pelangi dari jangkauannya. Shaka pasrah.

:•::•:

Shakala (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang