duapuluh empat.

1K 140 42
                                    

•Pelangi POV•

Satu tahun, 2 minggu dan 5 hari atau sama dengan 384 hari sudah aku menunggu kehadirannya. Kehadiran seorang gadis penyelamat hidupku, Shakala.

Tiga hari setelah kejadian itu, ibuku datang untuk menjemputku dan mengajakku untuk tinggal bersamanya. Dengan rasa tidak rela, aku meninggalkan Shakala yang saat itu masih belum sadar dari koma. Sungguh amat berat hari-hari yang ku jalani setelah pergi tanpa bisa tahu bagaimana keadaannya, apakah dia sudah sadar? Apakah dia sudah membaik? Apakah dia mencariku? Apakah dia merindukanku? Apakah dia mengharapkan kehadiranku disana?

Berbulan-bulan aku menunggu, mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa ku utarakan kepada diriku sendiri. Hingga akhirnya aku mendapatkan ijin, aku memberanikan diriku untuk berkunjung kesana, berharap dapat menemui dia. Tapi sayang beribu sayang, saat aku menanyakan perihal keberadaannya kepada Arin, gadis itu mengatakan bahwa Shakala telah pergi jauh. Shakala telah dibawa ayahnya kembali. Shakala ku pergi sebelum aku bisa mengucapkan terimakasih atau setidaknya melihat dia baik-baik saja.

Aku sempat mengunjungi desa itu beberapa kali, terakhir sekitar 5 bulan lalu aku kesana. Masih dengan tujuan yang sama, mempertanyakan keberadaan serta keadaan Shakala kepada Arinda Putri, satu-satunya orang yang ku yakini masih berkomunikasi baik dengan Shakala. Tapi entahlah, hasilnya selalu nihil. Dia tidak pernah memberiku jawaban soal keberadaan Shakala dan bagaimana keadaannya. Tapi hari ini, entah takdir baik milik siapa yang akhirnya mempertemukan kami berdua.

Ternyata, setelah sekian lama, anak kecil itu masih sama tingkahnya. Tidak ada yang berubah, dia masih menjadi Shakala yang dulu ku kenal. Shakala yang diam-diam sering ku goda demi melihat betapa menggemaskannya ekspresi yang akan dia tunjukan. Dia masih sama.

Dan sekarang, aku sedang berusaha sekuat tenaga menahan senyumku karena melihat betapa menggemaskannya dia saat berbincang dengan ibuku. Wajahnya yang beberapa kali menampakkan ekspresi bingung apalagi saat Ibu memeluknya dengan tiba-tiba. Rasanya ingin sekali aku menggodanya seperti dulu.

"Luka kamu bagaimana? Kamu sekarang juga sudah baik-baik saja kan?" Tanya Ibu terdengar khawatir.

"Ah itu, sudah sembuh. Aku hanya perlu check-up setiap beberapa bulan untuk memastikan bahwa lukanya memang sudah baik-baik saja..." Jawab Shaka.

Aku hanya diam mendengarkan perbincangan mereka berdua.

"Begitu ya. Kalau Nak Shaka tidak keberatan atau ada acara lain, saya secara pribadi mengundang Nak Shaka ke rumah untuk makan malam,"

"T-tapi saya tidak tahu rumah Pelangi dan Ibu dimana," Kata Shaka membuat aku hampir saja tertawa saat mendengarnya.

"Anggi, ajak Nak Shaka ke rumah biar dia tahu rumahmu. Jadi sewaktu-waktu saat dia ingin berkunjung, dia hanya perlu datang..."

"Iya Bu,"

"Saya masih ada pekerjaan yang harus dilakukan. Anggi, perlakukan Nak Shaka dengan baik ya?" Kata Ibu sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami berdua.

"Kamu apa kabar?" Tanya Shaka membuatku tersenyum tipis.

"Aku baik, kamu gimana?" Jawabku pelan, berusaha mengendalikan perasaan aneh yang tiba-tiba menyeruak di dadaku.

"Aku juga baik," Balas Shaka lengkap dengan senyum manisnya yang seketika langsung membuatku ikut tersenyum.

"Kamu tadi kelihatannya buru-buru, mau pergi?"

"Ah itu, enggak. Aku emang kadang begitu,"

"A-aku..."

"Kamu mau ikut aku ke rumah nggak? Ada sesuatu yang harus aku ambil..." Ajakku sengaja memotong entah apapun yang Shaka akan katakan.

Shakala (On Going) Where stories live. Discover now