lima belas

1.6K 201 14
                                    

"So, apa rencana lo sekarang?" Tanya Lea kepada Shaka yang sedang duduk di balkon kamar mereka sambil menikmati langit malam Munich yang cukup indah.

"Entahlah, I wanna ask you about something.. Se-kangen apa kamu sama Mikailamu sekarang? Kalo dihitung, ini kan udah setengah tahun kalian nggak ketemu, " Kata Shaka balik bertanya.

Lea menghela nafas, dia menyandarkan dirinya ke pintu kaca. "Rasanya itu kayak, lo kehilangan separuh jiwa—rasa semangat—serta motivasi lo buat menjalani hari. Tapi kan ini jalan yang kami ambil, dan Grandpa minta gue tetap disini sebagai bayarannya. Jadi mau gimana lagi kan." Jawabnya terdengar lesu.

Shaka menatap Lea dengan iba, meskipun dia tidak merasa lebih beruntung dari Lea. Tapi setidaknya, tidak ada yang beruntung diantara mereka berdua, sama saja. Shaka dipisahkan oleh takdir. Lea dipisahkan oleh perjanjian.

Shaka sedang menunggu, masih setia menunggu garis takdir manapun yang pada akhirnya bersedia mempertemukannya kembali dengan seseorang yang telah diam-diam mencuri hatinya. Karena ternyata, se-melelahkan itu hidup tanpa tahu dengan pasti bagaimana kabar sang pujaan hati.

"Lo jangan ngelamun astaga, bahaya kalo kesurupan. Nanti setannya ngomong bahasa Jerman," Kata Lea berhasil menyadarkan Shaka dari lamunannya.

"Emang kenapa?" Tanya Shaka bingung.

"Ya nggak apa-apa sih, cuma kasian aja sama setannya."

"Kasian?" Beo Shaka semakin bingung.

"Nanti dia bingung "Ini orang asing siapa yang saya rasuki, kenapa aneh sekali" gitu."

Shaka langsung menganga mendengar jawaban Lea. Demi Tuhan, pembicaraan tidak jelas macam apa yang sedang terjadi diantara mereka. Jokes Lea sangatlah garing dan tidak nyambung. What the fuck. Kira-kira Mikaila tau dan sadar atau tidak bahwa pacarnya itu kadang sedikit aneh.

Tanpa menanggapi perkataan Lea yang tadi, Shaka memilih masuk dan meninggalkan Lea yang langsung menatapnya penuh tanda tanya.

"Lah kenapa lo masuk? Gue kan lagi berusaha biar akrab sama lo gitu loh Ka." Kata Lea setengah berteriak.

Shaka sama sekali tidak mempedulikannya. Dia langsung masuk ke dalam kamar tanpa mau mendengar apapun yang Lea katakan. Dan Lea hanya bisa menggeleng melihat tingkah Shakala.

"Astaga itu bocah, kalo nggak karena grandpa yang minta gue nemenin lo, nggak bakalan ya gue sok akrab sama lo." Gumamnya sedikit kesal.

Sementara Shaka langsung duduk di meja belajarnya dan menyalakan laptop miliknya. Dia menghela nafas lelah, bukan karena materi kuliah yang melelahkan, tapi karena begitu melelahkan nya merindukan seseorang yang tidak bisa dia temui. Shaka tertawa kecil saat sekelebat ingatannya soal Pelangi muncul, tapi kemudian mimik wajahnya berubah sendu saat teringat pertemuan terakhir mereka. Hari dimana detik itu juga Shaka merasa tidak keberatan untuk menjadi seorang pembunuh karena Pelangi.

Shaka mengusap wajahnya dengan frustasi, dia tidak akan bisa terus bertahan dengan keadaan ini. Demi apapun, perasaan yang Shaka rasakan sangatlah menyiksa. Dia tidak selalu bisa menanganinya. Terkadang—tiba-tiba rasa sakit yang amat sangat menyergap dirinya dan dengan segala kejujuran Shaka sudah bosan dengan hal ini tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Notifikasi dari ponselnya membuat Shaka teralihkan. Senyum tipis sedikit tersungging di bibirnya. Arin, sahabat, teman baik, sudah seperti saudara serta orang yang tidak pernah keberatan untuk mencarikan serta memberinya informasi tentang Pelanginya.

Arin

Oi Ka    07.23 pm
Udah tidurkah?      07.23 pm
Aku ada info nih soal kak anggi    07.24 pm

07.25 pm   Ada apa Rin?

Kak anggi tadi kesini     07.27 pm
Tapi sebentar doang     07.28 pm

07.28 pm     Sebentar doang?
07.29 pm    Emang dia ngapain?

Shaka terus memandangi layar ponselnya menunggu balasan dari Arin. Batinnya sedikit senang karena setidaknya dia tahu bahwa Pelangi baik-baik saja meskipun belum menemuinya secara langsung. Tapi informasi dari Arin membuatnya sedikit lega, setidaknya setelah berbulan-bulan tanpa kabar yang pasti, Shaka akhirnya mendapat informasi tentang Pelangi. Dan dia bersyukur dengan sekecil apapun informasi yang dia dapatkan.

Sudah setengah jam berlalu tapi Arin belum membalas pesannya, sepertinya Arin ketiduran. Indonesia dan Jerman memiliki perbedaan waktu 5 jam, jika di Jerman jam setengah 8 malam berarti di Indonesia sekarang sudah jam setengah 1 dini hari. Hal ini membuat Shaka terkekeh gemas, ada-ada saja kelakuan Arin. Kan memberikan informasi ini besok juga tidak akan menjadi masalah, toh dalam situasi ini Shaka hanya bisa membaca kabarnya, bukan menemui orangnya.

Tidak mau ambil pusing dengan tingkah temannya itu, Shaka memilih untuk membuka jejaring sosial bernama Facebook. Ya meskipun Shaka ini bisa dibilang ansos tapi bukan berarti dia menutup diri dari dunia luar, tidak. Shaka hanya jarang mengekspose tentang dirinya apalagi keluarganya.

Dengan niat iseng Shakala menuliskan nama Pelangi di kolom pencarian Facebook. Sedikit berharap menemukan sesuatu tentang Pelanginya. Tapi sedetik kemudian Shakala ingat, bahwa Pelangi bukan merupakan nama khusus atau nama lengkap jadi hasil dari pencariannya tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan. Shakala berpikir keras, sepertinya dulu Pelangi pernah memberitahu nama lengkapnya, iya pernah. Tapi Shaka kan hanya mengingat Pelangi—Anggi—dan betapa hal itu membuatnya mengutuk dirinya sendiri yang pelupa. Eh, kira-kira Arin tau nama lengkap Pelangi atau tidak ya? Tapi kan Arin anak Pak RT, pasti di rumahnya ada data penduduk, begitu kan konsepnya?

Ah entahlah memikirkan hal ini membuat Shaka pusing sendiri. Lama kelamaan rasa ngantuk menyergapnya. Membuat Shakala berkali-kali menutup mulutnya karena menguap, dan tidak lama kemudian dia menyandarkan kepalanya di meja belajar dan tertidur. Ya, Shaka ketiduran karena memikirkan Pelangi, lagi, untuk yang ke-sekian kalinya.

•••

Shaka menyambut pagi dengan badannya yang pegal-pegal karena tidur dalam posisi duduk semalaman. Untung saja alarm ponselnya selalu setia berbunyi setiap pagi jadi dia tidak terlambat untuk bangun dan bersiap-siap pergi kuliah.

Setelah selesai bersiap-siap, Shaka langsung keluar kamarnya. Di luar dia melihat Lea yang sedang menerima telfon dengan mimik wajah yang serius. Tapi karena Shaka bukan tipe orang yang kepo jadi dia memilih mengabaikan Lea dan langsung berangkat ke kampus.

Shaka selalu berangkat dengan transportasi umum, berbeda dengan Lea yang berangkat dengan kendaraan pribadinya. Lea juga pernah menawari Shaka untuk berangkat bersama tapi Shaka menolaknya dengan alasan bahwa jadwal kuliah dan kegiatan mereka berbeda dan hal itu hanya akan merepotkan satu sama lain.

Sesampainya di kampus, Shaka langsung menuju kelasnya. Dia duduk di deretan bangku nomor 3 dari depan. Meskipun dia ingin serius kuliah dan lulus kuliah tepat waktu tapi bukan berarti dia harus menjadi anak yang ambisius dan tergila-gila dengan materi kan.

"Guten Morgen Fräulein Shakala..." Sapa sebuah suara membuat Shaka langsung menghela nafasnya.

"Darf ich heute neben dir sitzen?" Tanya orang itu sambil tersenyum tapi hanya dibalas dengan tatapan datar dari Shaka.
[Hari ini, bolehkah aku duduk disebelahmu?]

Sudahlah, sepertinya hari ini bukan hari yang damai untuk Shaka.



 
:•::•:

Shakala (On Going) Where stories live. Discover now