BAB 30 - SURGA

80 8 8
                                    

Malam yang begitu hening dan dingin. Rasa-rasanya ingin berselimut, mencari kehangatan dari sumber manapun. Hujan masih mengguyur sejak maghrib. Suara jangkrik ataupun lolong anjing penjaga kamp Persaudaraan Hitam tidak lagi terdengar seperti kemarin. Seekor kucing seukuran truk tambang yang tengah tepekur menunjukkan kemeranaan yang sulit dilukiskan manusia.

Bagian aula utama pada kemah besar, orang-orang tengah berkumpul sambil menghangatkan diri dengan minuman hangat di bawah cahaya lentera. Tidak ada alkohol di sini ataupun perempuan yang siap menuntaskan syawat mereka. Persaudaraan Hitam bukanlah orang yang dituduhkan barbar seperti yang dituduhkan orang-orang kafir di ground zero, orang-orang musyrik di selatan, orang-orang radikal di timur, orang-orang munafik di barat, atau orang-orang mati di utara. Berkumpulnya mereka dengan jubah-jubah hitam sederhana, tanpa bersenjata, menunjukkan mereka yang berduka, terdiam, menangis, walaupun telah melewati pertempuran sengit yang membuahkan kemenangan.

"Ground zero telah ditaklukan dalam invansi tujuh hari," kata seorang yang berdiri di kursi atas, yang persis berada di samping kanan kursi kosong. "Tapi, bukan berarti kemenangan ini kita capai dengan mudah. Kekuatan ini semata berasal dari pertolongan Allah. Tanpa-Nya, kita tidak mungkin berada di sini, meskipun kita kehilangan seorang yang berjasa atas bersatunya kita." Lelaki berkacamata itu, Bihan, memberi kesempatan pada Aldisan, pejuang bertubuh raksasa itu mengucap sepatah kata. Tetapi, gelengan kepala Aldisan menunjukkan ketidaktertarikan, sembari pergi.

"Bagaimana dengan eksekusi pelacur dari selatan itu!" seru Irden, prajurit bertubuh kecil.

"Tentu, eksekusi harus dijalankan!" teriak Yodag, ahli strategis yang duduk di kursi roda.

Keriuhan meledak karena api yang disulut Irden dan bensin yang disiram Yodag. "Saya harap semua tenang! Kita bukan orang barbar!" seru Teran si pembawa artiler berat memukul meja.

"Eksekusi tetap dijalankan sesuai proses hukum," kata Zigas, si pengantar pesan yang pernah membawakan surat gagak pada Mustakim. "Kita tidak boleh lepas dari aturan-aturan langit."

Beban tanggung jawab itu berat bagi Bihan Baratanah. "Anda termasuk seorang yang cakap dalam urusan ini daripada kami," kata Parwo si penembak runduk. "Kami serahkan padamu."

Eksekusi dilaksanakan keesokan paginya. Semua prajurit berkumpul di tanah lapang. Tiang gantungan telah dipersiapkan, sesuai dengan arahan Bihan. Prawo dan Irden menggiring si terdakwa menuju pengadilan sekaligus tempat eksekusi. Khayalak mencoba berteriak melepaskan kemarahan dan kebencian, namun ditahan Zigas dan Teran yang khawatir tersulut kekacauan. Si terdakwa, wanita memprihatinkan itu beranjak menuju undakan, merasakan simpul disematkan di lehernya.

"Ada pesan terakhir yang ingin kamu ucapkan, Seylamedia Chalim," ucap Bihan.

Seyla memandang perih orang-orang berjubah hitam menatap tajam ke arahnya.

"Kompas itu. 'Aku' mohon ingin melihatnya," permintaan langsung dikabulkan.

Setelah penutupnya dibuka Aldisan, Seyla berkata, "Apa aku berada di selatan?"

"Ya," ucap Aldisan, lalu menautkan kompas itu dalam kepalan Seyla. "Selamat."

Seyla membantin ketika pijakannya enyah. "Aku juga mencintaimu, karena Allah."

... TAMAT ...

Sisi SelatanWhere stories live. Discover now