BAB 8 - SEDUH SEKAT

43 8 0
                                    

Warkop Tanpa Judul, 8 Februari 2016 - 13.10 WITA

Hari keempat bagi Mustakim menyambangi warkop yang berada di sisi selatan kampus. Kopi hitam yang disajikan standar buatan rumah, tidak seperti waralaba kedai kopi yang menyajikan kopi (hasil ekspor biji kopi ditanam di negeri sendiri yang kemudian diimpor dalam bungkusan bermerek) yang tentu mengeringkan isi dompet. Mustakim sekali pernah mencicipi kopi seharga satu lembaran biru dari kedai dari Barat itu. Bukan mendapati kenikmatan, dia hanya merasakan rasa amis darah dan besi peluru di dalam cairan hitam pekat itu. Saat itu juga dia bersumpah tidak lagi menyambanginya, lalu memilih menyudutkan diri di pojok warkop murah meriah dengan sentuhan keheningan.

"Sebelum lo menolak gue duduk di sini, gue cuma mau bilang minta maaf dan lupain masalah di antara kita waktu itu," ucap suara yang berdiri di samping Mustakim, lumayan mengejutkannya. "Sekarang bolehkah wanita spesial ini duduk menemani cowok terabsurd di kampus kita ini?"

Mustakim hanya mengangguk, memberikan ruang kosong pada satu kursi plastik yang kini diduduki wanita cantik itu. Setahun berlalu setelah kejadian di bioskop dan selama dua semester itu juga dia tidak pernah merespon banyak kehadiran Seyla, meskipun mereka sering bertemu di kampus dan jam kuliah yang sama. Mustakim menaruh posisinya sebagai individu asing saat teman-temannya bercengkrama dengan Seyla, mengerjakan tugas kelompok, mendiskusikan berita kekinian, gosip atau curahan hati. Pemuda itu senantiasa melihat Seyla silih berganti seperti orang baru di waktu yang lain. Dan mungkin sekarang, individu asing atau orang baru itu memutuskan duduk di satu meja.

"Gue pesan susu stroberi!" seru Seyla dengan nada lantang, tapi matanya menatap Mustakim. "Oke gue tahu, itu gak ada di menu!" Seyla kembali berteriak serasa ingin meruntuhkan seisi warkop, sampai pengunjung yang kesemuanya mahasiswa (dan mengenal primadona itu daripada mata kuliah di setiap semester) teralihkan, buru-buru membuang muka. "Kopi putih, gue rasa cukup."

"Sepertinya aku pernah melihatmu. Oh bukan, tapi sering dalam beberapa semester ini," kata Mustakim yang sebelumnya hanya menunduk tampak merenung, sekarang menunjukkan wajahnya. Wanita cantik yang duduk di seberang tidak menampakkan dia tercengang saat mendengarnya, dan memandang laki-laki itu seolah belum pernah mengenalnya. "Boleh, kita bisa berteman?"

Kopi putih terhidang mengepul hangat. "Tentu, gue pun merasa gak asing sama lo. Temannya Akher dan Dunya, kan? Gue rasa lo kelihatannya lebih akrab bareng si Akher." Seyla tampak antusias saat percakapan sehangat kopi itu berlangsung santai. "Kalau si Dunya, sedari dulu gue cuma akrab sama cowok manis yang nyatanya genit itu." Seyla menyesap kopi. "Sempat kepincut sih."

Kopi hitam tersisa setengah cangkir. "Dunya pernah sempat bergosip, mengungkapkan daftar khayalanya tentang wanita idamannya. Kalau aku masih mengingat, Dunya menulis cirinya, rambut coklat dan bermata-," Mustakim memperhatikan dengan tercengang sepasang mata berwarna coklat hangat yang menatapnya bersahabat. "Di suatu masa, aku mengenal mata itu berwarna biru."

"Mungkin lo melihat orang lain." Seyla mengulurkan tangan. "Kenalin, Seylamedina."

Si pemuda merapatkan kedua telapak tangan di depan wajah. "Bukan siapa-siapa."

Seyla menghela napas begituberat dan tidak menyadari kedua kopi tidak lagi hangat. 

... Bersambung ...

Sisi SelatanWhere stories live. Discover now