BAB 25 - SURAM

22 10 0
                                    

POV : Nimva 'Ukiyo' Dihav

Negeri orang mati, suram terletak di utara. Kota tepi pantai yang pernah merasakan keramaian manusia dengan banyaknya titik-titik tempat hiburan dan pemandangan anjungan pantai mempesona. Akan tetapi semuanya telah berubah ketika lautan sudah murka dan menenggelamkan daratan hingga gedung-gedung yang tersisa menjelma karang membatu. Sebutlah tsunami dan serangan toperdo dari kapal selam musuh yang mengakibatkan kehancuran di utara. Namun, tidak ada yang peduli dengan hadirnya makhluk tanpa emosi yang lebih mengerikan, menjadikan laut utara menjadi sangat dingin. Sebagian bangunan tinggi tersisa diselimuti tembok es bercampur baja berkarat. Mayat-mayat yang tidak membusuk terpancang seolah menandankan orang-orang mati ini awet, tampak hidup.

Gue, membusuk bibir Ini kalau menyebut laknat itu sebagai keakuanku. Sebutlah sebagai Ini yang beranggapan bahwa dunia berselimut lautan es adalah dunia yang bangkit dari kehancuran. Ini bisa berpindah kemanapun, bersahabat dengan mayat-mayat bermata biru yang menyelam di bawah kegelapan lautan. Tempat ini tidak lagi mengenal suara berbahasa atau napasnya yang dipasok keluar masuk paru-paru. Bahkan Ini hanya menyisakan kekosongan dan kehampaan tanpa berujung.

Pergerakan arus asing mengganggu ketenangan Ini. Gelombang kecil melebar bak bentangan sirip binatang laut, menimbulkan riak mengusik dan membuat mata Ini membuka lebar. Kilatan biru bisa terasakan di sepanjang pipi hingga kening, seraya membawaku menuju ke permukaan. Ini telah membangunkan kematian di sekelilingnya, sesaat motor sampan itu melintasi kanal di antara tembok bangunan beku. Ini memunculkan sepenuh tubuh dan wajah, menghadirkan pijakan lapisan es.

"Nimva," kata Mustakim, sulit melupakan suara dan tatapan mata bergelimang pahala.

"Hanya kematian yang dapat membayar apapun untuk menyebut nama Ini." Terbalas.

"Kami tidak bermaksud mengusikmu," Akher, tidak salah lagi. "Izinkan kami melintas."

"Hanya kematian yang dapat menebus perjalanan kalian, tanpa satu kecuali." Terbalas.

Mustakim mematikan mesin sampan motor yang sudah memancing penghuni di dalam kotak-kotak beku yang mengelilingi mereka. Kilatan mata berwarna biru terang, geraman tertahan, seakan menyambut dua makhluk bernapas. Ini merentangkan tangan lebar dan menunjukkan rakyat Ini dan pastikan Mustakim dan sahabat setianya mengeluarkan emosi hidup agar kami diberi kekuatan.

Ketakutan. Kesedihan. Kemarahan. Kengerian. Ketiadaan. Kemalangan. Keputusasaan.

"Apakah kalian tidak memiliki sesuatu teruntuk mereka? Seperti karbon dan oksigen."

"Nimva, kamu bukan orang mati!" Mustakim berteriak. "Kamu manusia seperti kami."

Ini bagian paling terendah bagi umat manusia ketika berada di nadir, berharap selamat.

Ukiyo, bukan hanya nama belakang Ini, melainkan sisi tersembunyi yang perlahan timbul di balik raga pucat Ini. Wajah mengilat bermoncong dan deretan taring bagaikan perak. Bulu halus putih tumbuh merambat hingga ke sepanjang jemari tangan yang mencuat cakar tajam berkilau. Mustakim dan Akher berupaya mendorong sampan mustahil mampu lari dari sasaran Ukiyo. Sebentuk makhluk hibrida serigala raksasa dan beruang kutub bermata biru Ini seketika menenggelamkan mereka.

Ini membalas lantang. "Hanya kematianlah yang bisa melihat akhir dari perang kalian!"

... Bersambung ...

Sisi SelatanWhere stories live. Discover now