BAB 23 - SALAM

20 10 1
                                    

POV : Ekshanta

Semilir angin berhembus lembut dan gemerisik dedaunan pada rimbun pepohonan. Alangkah indahnya kedamaian masih bertahan pada tempat yang terancam punah ini. Tidak ada bangunan beton yang menunjukkan kejayaannya. Tidak ada lagi jalanan yang ramai dengan kesibukan. Atau makhluk bungkuk yang terus bertempur menggunakan senjata persegi dari susunan kaca dan mesin, berperang melalui permainan jaringan semu, atau bergelut di medan berwujud dinding bisu. Sungguh ada syukur pada pencipta langit dan bumi, bahwa keberadaan itu semua telah punah di wilayah timur. Cara hidup konservatif, berpikir perenial, prinsip fundamental, dicap radikal, seperti dulu dijuluki lampau.

Meski ana kembali pada gaya lama, namun terbukti bahwa inilah tatanan kehidupan ideal.

Lima tahun yang lalu, perkampungan asri dengan pertanian dan perkebunan subur ini dulunya kebun binatang. Tembok tua sampai mesin pembeli minuman yang berlumut bak peninggalan kuno. Lubang bekas peluru, jeruji berkarat pagar dan gerbang, reruntuhan batu bangunan yang menyisakan jelaga dan puing, membekas hingga disekelilingnya dibangun pondok-pondok untuk bermukim.

Ana memandang orang-orang, beraktivitas, berdagang, beristirahat, beribadah, dan anak-anak kecil yang berlarian dan bermain di sekitar kandang dari hewan menakjubkan yang nyaris punah. Ana mendekati mereka, kemudian para yatim piatu itu berseru gembira dan berlomba memeluk ana, selalu menganggap ana Ibu penyelamatnya. Alasan lain, tentunya mereka ingin melihat hewan itu.

Para yatim piatu beranjak pergi karena ana kedatangan tamu yang tidak diharapkan.

"Sekali lagi ana nyatakan." Ana belum menoleh, tapi bisa mencium aroma abu dari kehadiran dua orang itu. "Rakyat ana, penjaga ana, orang-orang yang membutuhkan perlindungan ana, enggan memberi antum pasukan." Ana membalik sepenuh badan. "Hentikan konflik dan pulanglah."

"Tidak ada tempat untuk pulang." Laki-laki itu, berdiri di hadapan ana seperti pemimpin yang tidak gentar menghadapi kekejaman orang kafir di ground zero dan musyrik di selatan. Sepasang mata hitam yang menatap begitu sulit ana hindari dan lupakan dari masa lalu. Jubahnya, suaranya, dan senyum sederhana yang sanggup menghentakkan pasukannya di muka bumi. Ana membuang wajah, seakan hati dan jiwa ini berada di antara ketidakrelaan dan pasrah direngkuhnya. "Kami datang bukan membawa penderitaan pada rakyatmu. Lambat tapi pasti malapetaka akan datang kemari."

"Hutan terkutuk dan rawa terlarang melindungi kami." Ana berkilah seakan tegar.

"Kekuatan antum memberi keamanan kampung ini," kata Akher, sambil mengibaskan tangan seolah menunjuk seluruh bekas kebun binatang ini. "Rakyat aman, tapi tidak bertahan lama."

"Kekuatanmu sudah banyak terkuras, Eksha," kata Mustakim, nekat sekali menghampiri ana lebih dekat. "Aku mengingatnya, melihat itu melalui matamu, tidak sehijau seperti waktu itu."

"Antum jangan mengira ana tidak berdaya." Ana beranjak membuka pintu kandang, tepat di belakang ana. "Sekalipun antum menawarkan bantuan. Afwan, ana masih memiliki pertahanan."

Mustakim dan Akher pastilah tercengang, ketika hewan menakjubkan bertanduk seperti dahan pohon dan setinggi 10 kaki itu berpijak dengan hentakan berat. "Jenis yang terakhir, Terajenah."

... Bersambung ...

Sisi SelatanOù les histoires vivent. Découvrez maintenant