BAB 26 - SURAT

22 11 0
                                    

Ibu, wanita berjilbab putih itu tengah membereskan kamar Mustakim. Foto keluarga yang terpajang di dinding, buku-buku menguning berjejer tidak beraturan, dan Ibu menemukan sesuatu. Surat, terselip pada sebuah pigura kosong yang seingatnya pernah terisi foto. Secarik kertas dengan tulisan klasik yang indah dipandang. Ibu beranjak duduk di tepi ranjang dan menekurinya.

...

...

Teruntuk Seylamedina. Assalamu Alaikum Warahmatullah Wabarakatu.

Aku mengerti ucapan salam tidak akan berpengaruh padamu. Namun, bagaimanapun selalu, aku menganggapmu sebagai manusia yang berharap keselamatan dan kebahagian menyertaimu. Aku tahu pula surat ini hanya meninggalkan kesan tertawa gila dan senyum remeh temeh. Mengapa tidak mengirim pesan singkat dari ponsel jadul lo itu saja? Memangnya lo gak punya, miskin sekali? Ya, ekspresi menggemaskan seperti itu yang bakal kamu respon sama gue, ups. Baiklah adindaku tercinta (tentu saja aku lebih tua darimu) kakanda ingin mengungkapkan perasaan hati dan jiwa ini.

Wahai Seylamedina, laksana padang mawar pagi merekah, wangi semerbak nan tidak pernah terlupakan. Betapa aku terpesona setiap aku tergoda petik mahkotanya. Kaguman menjadikan aku rela terluka dikala tertusuk durinya. Di setiap cerah harapan yang kamu tebarkan. Pandangan mata secerah mentari menoleh mesra dan kamu bersemu dalam kehangatannya. Di setiap impian malam yang kamu abadikan. Pejam mata selembut rembulan mengedip dalam lelap tenteram menyejukkan. Mentari dan rembulan tampaklah cemburu dan malu kendati dirimu pula memilikinya pada tahi lalat kiri di dagu dan di bawah mata kanan laksana sinar magis yang sulit untuk aku hindari.

Kalau saja ada cinta membuatku benci kedatangannya, cinta itu yang datang karenamu.

Kalau saja ada rindu membuatku sakit menerimanya, rindu itu yang kauberikan padaku.

Jika ada penyesalan terbesar sudah hadir dalam jiwaku, penyesalan sebab mengenalmu.

Jika ada penderitaan terhebat pernah menyakiti hatiku, derita itu karena menyayangimu.

Sebenarnya siapakah yang tersesat? Apakah aku karena cinta atau kamu karena iman?

Sungguhkah kompas membantu kita? Apakah kamu merasakan apa yang aku tuliskan?

Duhai pemilik bibir semerah delima nan memabukkan. Ada hasrat memanggil mengecupnya di setiap pertemuan. Terkadang melepaskan aroma manis ketulusan, juga racun kejujuran. Tidakkah engkau sadar kejahatan telah membara dalam amarahmu. Membawamu terbelenggu dihujam sembilu dan gejolak birahimu. Bukankah engkau mengerti keburukan meneteskan darah dendammu. Menjauh dari cahaya jalan lurus ketika cintaku menolak untuk terbalaskan. Aku bersumpah akan menuntunmu menuju arah pulang. Wahai Seylamedina, mengapa kamu tidak kembali? Hingga senja menjadi bukti nyata napas api dan darah berpadu menyesatkan. Kehancuran dunia berada digenggamanmu.

Adakah kamu menyalahkan aku ketika engkau berpikir aku menuduhmu telah ternoda.

Padahal sekian lama aku menunggumu, namun kamu terus berjalan menuju Selatan.

Mustakim Shirat - Pulau Besi, ... Februari 2024.

...

...

Ibu terdiam sambil melipat surat itu dan meletakkannya kembali ke tempatnya semula.

"Mustakim, anak lanangku," gumamnya. "Mengapa kamu mirip seperti, Majnun!"

... Bersambung ...

Sisi SelatanМесто, где живут истории. Откройте их для себя