BAB 19 - SIKSA

24 9 0
                                    

Gudang Terbengkalai, 19 Maret 2019 - 21.19 WITA 

"Lo udah gila. Lo gak nyadar udah bunuh orang! Lo emang udah gak waras lagi, Akher!"

"Siapa yang sebenarnya gak waras?" Akher membanting kampaknya. "Kambing jantan?"

Tubuh wanita itu gemetar dalam balutan selimut putih hotel, yang telah merah oleh darah.

"Kenapa lo melakukannya? Kena- ... gue kenal banget lo cowok baik-baik. Apa salah ...."

"Dunya bagian Persekutuan Jahanam yang menanamkan keturunannya di rahim manusia."

Badan wanita itu lemah tidak berdaya saat Akher mengangkatnya seperti bonggol pisang.

"Anak api dan darah. Sekarang kamu bersihkan ragamu. Tidak lama lagi matahari terbit."

"Setelah ini gue menuntut lo jelasin semua, sebelum gue melaporkan lo ke polisi, Akher."

Gagak hitam itu manggut-manggut. "Saya butuh kesaksian mengenai bar yang terbakar."

Seyla menutup pintu kamar mandi, melalui celahnya, membuang keluar selimut berdarah.

Akher mengambilnya, membawanya ke tungku perapian, memusnahkannya menjadi abu.

Di sebuah gudang bekas penyimpanan barang pabrik, Akher menyiapkan dua gelas teh susu yang terhidang di atas balok kayu ditumpuk menjadi meja. Sementara si gagak hitam menghangatkan diri di dekat perapian, Seyla mendekat setelah dirinya beraroma mawar dan mengenakan jubah merah. Akher mempersilhakan wanita itu duduk di atas ban yang disulap menjadi kursi. Tenang dan bingung. Keduanya diselimuti hening, suara tumpuk kayu bakar meretih, bahkan mereka belum saling melirik. Si gagak hitam memulai percakapan kendati dihadapannya wanita itu belum kunjung tersadar.

"Kamu pernah mendengar Persaudaraan Hitam? Singkatnya, mereka memburu sekelompok orang pengguna topeng kambing yang kerap melakukan ritual demi mengagungkan sembahannya. Kami menyebutnya Persekutuan Jahanam, karena mereka tidak menggunakan nama manapun demi menguatkan keberadaannya." Akher menyesap teh susunya, sesaat mata coklat Seyla menatapnya. "Ketahuilah, Seylamedina. Saya berada di sekeliling Mustakim dan dirimu bukan sebuah kebetulan. Saya berupaya melindungi kalian, dan Dunya Dimor menjadi target yang harus dilenyapkan."

"Jadi artinya, lo gagal jalanin tugas mengerikan lo itu." Seyla menyesap teh susunya.

"Tidak sepenuhnya gagal, dari sini saya tahu watak aslimu." Akher tersenyum kecut.

Seyla memegang erat gelasnya yang hangat, tertunduk. "Baik, sekarang giliran gue."

Malam sebelumnya, Seyla mampir di sebuah bar yang terkenal di area pinggir pantai. "Gue benar-benar depresi. Lo gak bisa rasain apa yang gue rasain malah gue akan minum sebanyak apapun yang bisa gue minum." Seyla duduk di bangku bar, bergaya seperti supir truk dengan kemeja flanel, dan rambut dikuncir kuda. Dua botol wiski dari merek yang berbeda, sloki demi sloki disesap hingga membara di tenggorokannya. "Kemarikan botol putih gendut itu." Seyla sudah melantur, bartender tua menaruh sebotol vodka. "Botol langsing merah juga." Si bartender hanya geleng-geleng kepala ketika memberikannya. "Gue benci lo, Mus. Gue pengen lo mati saja!" Seyla menangis terisak-isak.

"Kemudian Dunya datang temuin gue, tenangin gue, pelukin gue, bikin gue nyaman. Dunya buat gue bahagia, sampai gue rela berikan apa saja sebagai balasannya." Seyla menunjukkan telapak tangannya dan keluarlah api. "Sebelum itu, Dunya meminta gue membakar bar itu dan isinya."

... Bersambung ...

Sisi SelatanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora