Chapter 18-Mak Lampir

9 2 0
                                    

Aku melongok ragu ke dalam kelas. Semua sudah terisi, hanya tersisa bangku di urutan kedua yang memang disediakan Abel untukku, padahal bel masuk masih lima menit lagi.

Penglihatanku belum rabun, karena kelas ini hampir semua diisi oleh anak-anak cerdas dan terpilih dari mulai juara kelas sampai juara-juara yang lain.

Kelas yang asing dengan wajah-wajah baru. Dan... mataku menangkap penampakan pangeran putih di pinggir depan pojok dekat dinding, tampak tak terganggu menyelami buku bacaannya. Bisa kulihat curi-curi pandang beberapa pasang mata kaum hawa berparas cantik ke arahnya.

Hmm... sainganmu banyak, Nirmala!

Haha. Saingan? Dia teman, INGAT!

Mengalihkan pandanganku, jangan sampai perasaan kebat-kebit terjadi di saat yang tidak tepat lagi. Aku mencoba duduk dengan tenang meski kegelisahanku mungkin dirasakan Abel.

Aku menunggu sampai bel pulang berdentang, bahkan tak sempat beranjak untuk istirahat tadi, padahal pelajaran belum benar-benar aktif.

Secepat kilat, aku mencegat dia di depan pagar sebelum pulang.

Dia tak membawa sepeda. Ya, dia kehilangan sepeda, karena kamu Nirmala, INGAT!

Perasaan bersalah kembali menggelayut di benakku. Dia terlihat kuyu dan lelah. Lukanya gimana, ya? Apa sudah enggak sakit?

Tunggu dulu! Potongan rambut model tentara? Dia terlihat bagus. Aku menahan diri untuk tidak beranjak dan mencubit pipinya sekarang juga. Oh, he is so cute!

Kasih, ngomong, langsung kabur, itu rencana yang sedang kususun, tak ingin berlama-lama karena efeknya yang kurang baik bagi kesehatan batinku nantinya. Dia masih berbincang dengan guru lain. Aku menunggu dengan tak sabar, keringat sudah menetes sejak tadi.

Ayolah, kamu bukannya mau ujian negara, Nirmala. Its just him.

Sampai Guru itu pergi dan Niko melanjutkan perjalanannya sambil menunduk. Sekolah sudah cukup lenggang, jadi aku tak perlu jadi bahan gosip karena dikira mirip adik kelas yang suka kasih 'hadiah'.

"Niko!"

Dia berhenti, mendongak, terkejut melihatku. "Kamu?"

Ini dia. Satu, dua, tiga.

"Ehem. Inidarimamakumerekamintamaafkarenagakbisakasihlangsungketemumerekamaungajakkamumakantapiakutaukamugaksukajadiinisebagaiwujudterimakasihmerekaterimaya!"

Aku menarik dan menghembus nafas cepat, setelah ocehan panjang tanpa titik koma dalam satu tarikan nafas. Terdengar kekehan kecil entah darimana, yang pasti bukan dari orang di hadapanku karena dia mungkin sedang mencoba men-translate dan memahami bahasa alienku barusan.

"Kamu gak perlu--"

"Aku gak terima penolakan. Makasih untuk semuanya. Aku duluan. Bye," aku memotong cepat, tancap gas, berlari ke arah mobil

"Boleh aku bagi gak?!" teriaknya sebelum aku masuk.

"Terserah!" jawabku juga setengah berteriak.

Masuk ke mobil, mengatur nafas, merutuki kebodohanku. Bagus Nirmala, dia pasti bakal mikir kamu cacingan atau kebelet boker. Aku mengerang. Begooo!

***

"Kamu bukan tipenya kata dia. Sayang banget, padahal Om percaya kalian ini serasi."

Rasanya ingin memutar bola mata--tapi gak sopan. Mau terasi kek, serasi kek, masabodo. Ini bukan membela diri, aku memang jadi kesal dengan pembicaraan perjodohan yang diprakarsai Om Syafiq. Bikin malu yang ada. Mau taruh dimana mukaku tiap ketemu dengannya nanti 'kan?

Souvenirs Inoubliables (Vers.HER) [Complete]Where stories live. Discover now