Chapter 33-Maaf, Pa

6 0 0
                                    

Gumpalan-gumpalan tisu--lap ingus sisa tangisku--bertaburan layaknya ketombe rambut Nesya di lantai ruang kesenian. Terduduk di lantai seperti pengemis kurang makan. Tampilanku kurang lebih secara hiperbolis mirip Zombie kelebihan darah. Hidung merah, wajah merah, mata merah, rambut tergerai messy, menyembul ke atas macam sapu lidi. Aku enggak peduli!

Moodku hari ini hancur sehancur-hancurnya.

"Huwaa... huhuhu... hiks... huhuhu."

"Udah dong, Put, nangisnya. Aku jadi bingung nih," gerutu Abel sembari menyapu tumpukkan sampah yang kubuat.

Abel memang ada bersamaku sejak tadi. Dia yang kena imbas jadi cleaning service dadakan, membersihkan kekacauan.

"Aku panggilin Rani bentar ya."

Aku mencegat Abel yang hendak pergi.

"Ja-ngan nge-re hiks potin Ran-hi. Huhuhu."

"Iya mau gimana lagi? Kita udah telat masuk kelas dan kamu gak mau ngomong sejak tadi. Apa kita bolos aja ?"

Aku menggeleng.

"Jadi?"

Aku justru tergugu semakin keras.

"Ah, Putri. Bikin bingung aja. Trus aku harus gimana? Aduh, mana enggak mau cerita masalahnya apa--"

Omelan Abel terhenti seketika mendengar suara itu.

"Kirain denger suara Kuntilanak pagi-pagi."

Tangisku seketika terhenti, mendengar suara mendecak yang amat kukenal.

Waktu serasa membeku. Abel membalik badan untuk menemukan Niko yang bersedekap. Aku melirik sekilas dan kembali membelakanginya.

"Niko, kamu kok di sini? Bukannya kelas sudah mulai daritadi, ya?"

Aku bahkan bisa mendengar langkah kakinya mendekat.

"Loh, kalian sendiri juga ngapain masih di sini?"

Abel menatap ke arahku, seolah meminta jawaban. "Eh, Itu... Anu--"

"Tadi Pak Noval ngasih tugas dulu karena Pak Yuris akan telat masuknya di jam kedua," potong Niko sebelum Abel menemukan jawaban tepat.

"Oh, syukur deh."

"Dia kenapa?" tanyanya.

Aku bisa merasakan tangan Abel yang kugenggam tergerak naik sedikit ketika dia menggendikkan bahu.

"Kalau mau ngumpet, jangan di sini. Sekedar informasi, ruangannya bakal dipake sama anak-anak kelas dua."

Aku bergegas bangkit, masih memunggunginya. Jangan sampai dia melihatku dalam keadaan begini. Dia kan enggak suka lihat perempuan menangis.

Aku berdehem kecil untuk menjernihkan suaraku supaya tak terdengar serak.

"A-ayo, Bel. Aku lupa belum ngerjain PR tadi."

Dan sayangnya malah terdengar seperti tikus sekarat.

Malu. Aku mencengkeram tangan Abel dan menyeretnya tergesa. Abel memekik, tak siap dengan seretanku. Bahkan hampir terjengkang karena tak dapat menyeimbangkan laju jalanku yang terlampau cepat.

"Putri, tunggu! Ini tangan bukan tali jangan main tarik, entar molor tanganku!"

Aku melepas genggaman saat kami sudah berada di luar ruang. Mempercepat langkahku sendiri dan berlari meninggalkan Abel yang memanggil-manggil di belakang.

Selasar begitu sepi karena memang sudah masuk jam pelajaran.

Aku memasuki toilet wanita dan mengunci pintu salah satu bilik WC.

Duduk sembari merenungkan semua yang terjadi. Rasanya ingin menangis lagi, tetapi tangisanku seolah mengering.

Aku memutuskan keluar dari sana, memutar kran wastafel, menampung air dengan tanganku, kemudian bekumur-kumur setelah membasuh muka sebanyak tiga kali.

Jujur, perasaanku jauh menjadi lebih tenang setelah mendengar suaranya tadi.

Apa? Aku menjadi lebih tenang hanya dengan mendengar suaranya?

Aku benar-benar tak mengerti. Logika dan hatiku sedang dalam mode kehilangan kendali. Sehingga aku yang hampir gila kini menjadi semakin gila karena sebuah senyum terbit di wajahku tanpa kontrol, merasa senang hanya karena perhatian yang diberikannya dengan menanyakan keadaanku.

Ya Tuhan, aku kenapa?

Sudut-sudut bibirku tak dapat behenti berkedut, ke atas ke bawah. Perang batin antara sedih karena terngiang dengan permintaan Papa, dan bahagia karena masih dapat melihat dia.

Embusan napas lelah keluar begitu saja dari bibirku.

Papa gak adil! Surat itu juga kan belum tentu dari dia.

Niko, kenapa harus kamu?

Coba saja Syarif, dia yang lebih mudah kujangkau, dan bahkan terang-terangan menyukaiku.

Kenapa kamu? Manusia patung tanpa ekspresi yang enggak bisa diterka!

Please Boy, katakan padaku, kau punya perasaan yang sama. Buat aku percaya, bahwa kamu patut untuk dipertahankan.

Aaah aku bisa gila kalau begini!

Aku mendengar suara Abel di depan pintu toilet, berikut sebuah suara bariton menegur Abel karena berkeliaran di jam pelajaran.

Kuputuskan untuk menyudahi renunganku dan membantu Abel keluar dari masalah. Kami kembali ke kelas setelahnya.

"Kamu udah gak apa-apa, Putri?"

Aku mengangguk dan memberinya seutas senyum menenangkan.

Bagaimana aku bisa baik-baik saja ketika harus menjaga jarak dengan orang yang kusukai?

Sekarang bagaimana aku harus menghadapinya? Bertingkah biasa atau menjauh untuk menuruti kata Papa?

Sesampai di kelas, semua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku tak bisa menemukan Niko di bangkunya.

Dia ke mana?

Niko masuk setelahnya.

Salah tingkah, aku berpura-pura menyibukkan diri dengan mengeluarkan buku dari tas.

Saat aku memandang kembali ke tempat tadi, maniknya bersiborok dengan milikku. Dia tersenyum menenangkan ke arahku. Aku membalas dan mengangguk sebagai isyarat baik-baik saja.

Senyum itu selalu punya efek yang sama. Dan kukira, aku sudah mendapatkan jawabannya.

Maafkan aku, Pa.

Tbc....

Souvenirs Inoubliables (Vers.HER) [Complete]Место, где живут истории. Откройте их для себя