Chapter 47-Takdir Pernikahan(Part 2)

5 0 0
                                    


Lily of Valley bukan hand bouqet biasa.

Makna, "Kau melengkapi hidupku," sangat sesuai untuk momen sekali seumur hidup. Dan aku salah seorang yang beruntung dapat menggenggamnya dengan harapan, bahwa sang panglima berbaju zirah yang telah bertarung di hadapan waliku adalah pelengkap agamaku, kepingan hati lain yang cocok untuk melengkapi persatuan kami.

Aku mengamati tiap kelopak mungil bunga cantik dalam genggamanku. Menghidu harum menenangkan yang menguar darinya. Semua orang sudah keluar dari kamar. Hanya tinggal aku dan Rani yang tersisa.  Tapi kenapa kamar ini masih terasa begitu sesak?

Beberapa kali peluh bergilir jatuh menetesi dagu padahal AC menyala dan kipas kecil berada tepat di hadapanku. 

Apa aku sakit?

"Ya ampun, Putri. Woles aja ok. Kamu kayak abis lari aja, keringat sampai banjir begini."
Rani mengelap butir peluh dengan tisu secara perlahan.

Aku mencoba menenangkan diri. Helaan napas yang terasa semakin menyesakkan. Aku tak bisa menyingkirkan pikiranku tentang menjadi istri orang lain ketika, tanpa menyangsingkan pilihan orang tuaku, hatiku masih terpaut pada pria yang berbeda.

"Ran."

"Hmm?"

"Dia... udah--"

"Niko maksudnya?"

Aku mengangguk. Bibir Rani berkedut-kedut. Tampak sekali dia menahan tawa. Apa aku terlihat melucu dengan pertanyaan tadi? Masa bodo. Saat ini aku hanya ingin menumpas habis rasa penasaran yang menggerogoti.

"Kenapa tanya dia? Udah ya, Put. Kamu tuh udah mau jadi istri orang, bok yang di pikir tuh ya calon yang beberapa menit lagi akan jadi pendamping kamu."

Aku menelan ludah getir. Benar juga. Apa sih yang ku pikirkan.

"Aku kasih tau sedikit info."

Rani mengeluarkan benda pipih dari dompetnya. Menghidupkan layar dan menggeseknya dengan sentuhan. Menampangkan benda pipih tepat di hadapanku.

"Ini percakapanku sama Niko. Alasan aku minta kartu SIM waktu itu."
Aku membaca dengan seksama. Ekspresi tak tertahan, sedih, sesal dan berharap tertuang pas tanpa jeda.

"Rani kamu... apaan ini?"

Rani terlihat jengah dengan kejengkelanku. "Itu biar dia tau rasa. Awalnya, aku pingin kasih dia pelajaran. Tapi sayangnya, setelah percakapan terakhir, Niko mengalami kecelakaan dan sempat pingsan beberapa jam."

Aku terbeliak sampai menutup mulutku. Napasku memburu. Satu bulir air mataku lolos dengan mudahnya. Keterkejutanku berubah kepanikan.

"Dia... Dia gak apa-apakan. Dia sudah sembuhkan? Raniii kita harus ngeliat dia sekarang!"

"Putri tenang! Tenang. Tenang. Ok. Dia udah gak kenapa-kenapa. Jangan gegabah atau semua bakal runyam."

"Tapi...tapi kalau dia gak sembuh?"

"Kalau dia gak sembuh, gak mungkin kamu bisa nikah saat ini."

"Maksud kamu?"

"Eh, gini loh maksudku. Kalian kan selalu sama, apa aja dah kayak kembar siam. Kalo dia gak bisa nikah bisa jadi kamu juga gak bakal nikah sekarang."

Luar biasa sekali pemikiran Rani. Mau tak mau aku menarik napas lega. Apa pernikahannya bakal diundur kalau begitu?

"Ya gak segitunya, Ran," bantahku pada intuisi ngawurnya.

"Ya udahlah fokus aja sama pernikahan kamu. Nanti, aku punya kejutan yang lebih wow sebagai hadiah pernikahan kamu," ujarnya sumringah, seolah berita menggemparkan yang sudah menjungkir balik perasaanku bukanlah hal yang penting.

Souvenirs Inoubliables (Vers.HER) [Complete]Where stories live. Discover now