Chapter 38-Imbas

5 0 0
                                    

Hujan kembali bersama kesedihan yang ikut dibawanya. Menyamarkan tangisku. Aku mengayuh dengan susah payah. Pandangan yang kabur dan medan yang licin, turut meyumbang luka fisik yang tak kalah pedih.

Brakkk! Aku terjatuh sekali lagi. Terplanting keras. Kepalaku terantuk aspal. Tidak ada darah. Hanya berdenyut, juga beberapa goresan yang masih tak mampu menyaingi luka yang lain. Tetapi, aku tak peduli. Aku bangkit berdiri dan mengayuh sepedaku lagi. Meski banyak orang-orang yang mendatangi atau sekedar mengulur tangan membantu. Aku tak ingin menambah perasaan baru, malu. Cukup benakku yang semrawut, juga luka-luka yang tak seberapa menggenapi.

Sampai di rumah, aku disuguhi drama pertengkaran. Aku mendengar suara kak Farel dan Oma. Semua ini membuatku pening. Entah kenapa begitu banyak adegan drama yang terjadi hanya dalam waktu sehari. Bentakan, teriakan, adu nyaring, tak ada yang mau mengalah. Semua terdengar samar-samar dari luar. Aku meletakkan sepeda asal. Melompat cepat hendak masuk ke dalam. Terhenti di depan pintu. Mereka di ruang tamu. Semua orang berwajah muram. Tak ada Papa yang menengahi. Kak Farel menatap Oma dengan mata nyalang. Sentakan, gemeretak gigi yang beradu. Aku tak pernah melihat Oma semurka itu.

"Dengar, Farel!--"

"Enggak, Oma yang harus dengarkan aku!"

Semua berebut, ingin didengar lebih dulu. Tidak ada yang maumendengar, bahkan Mama yang mencoba mencegah perseteruan hanya dianggap sebagai pajangan. Terakhir, Kak Farel yang mengalah, mendengarkan Oma berbicara panjang dengan intonasi menggebu-gebu..

"Dia gadis yang membuat Opa kamu meninggal! Apa itu kurang, untuk membuat kamu berhenti?!--" Aku tersentak dengan perkataan Oma barusan. Farah yang membuat Opa meninggal?. "--Ayahnya, yang menyabotase mobilnya. Ibunya pelacur yang selalu menggodanya. Opa kamu tetap bersabar. Tapi apa balasan yang mereka berikan?. Musuh dalam selimut. Menikung dari belakang untuk mencuri kekayaan. Picik. Bahkan rela mengorbankananaknya sendiri untuk membunuh orang!!"

Oma berujar dengan mata dan nada penuh kebencian. Aku menelan ludah mengamati ekspresi gelap dari wajah penuh dendam. Oma jelas tak kan memaafkan dengan mudah. Kak Farel mendengkus lelah, tak tahan hendak melontarkan sumbatan yang selama ini berkerak dari dalam dadanya.

"Pada kenyataannya, gadis itu tidak membunuh siapapun. Dia juga korban Oma. Dia bahkan harus menanggung rasa bersalah yang membayanginya seumur hidup, hanya untuk sebuah hal yang bukan kesalahannya."

"Dia bahkan sudah berani mencuci otak kamu untuk menentang keluarga kamu sendiri. Hebat nian pelacur itu. Tidak orangtuanya, anaknya sama saja!"

"Bukan dia, tapi aku yang baru menyadari sekarang, bahwa gadis itu layak untuk diperjuangkan. Aku tak kan membiarkan Oma mengganggunya, tidak juga mencelanya. Apapun keputusan Oma, aku akan tetap pada pendirianku."

"Jika itu yang kamu mau, Oma tidak akan mencegah kamu. Tapi ingat satu hal, selangkah kamu keluar dari rumah ini, jangan harap kamu bisa kembali! Kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini!"

Sensasi dingin yang menggerayap di punggung. Ekspresi wajah yang tak pernah kutahu pernah ada, menghias wajah mereka tanpa jeda. Semuanya terlalu sulit dipercaya. Terlalu banyak luka pada setiap fakta.

Menutup telinga. Tubuhku semakin menggigil tatkala sebuah keputusan diambil.

"Aku keluar. Sekalipun Oma mencoretku dari daftar keluarga. Satu hal yang pasti, semua itu juga tak dapat menghapus hubungan darah kita. Aku akan tetap menghargai Oma sama seperti sebelumnya."

Oma menggeram. "Jangan memanggilku Oma! Kau bukan cucuku lagi! Silahkan keluar dari rumah ini!"

Semua orang terkesiap. Tak menyangka perkataan itu akan keluar dari lisan Oma sendiri. Ini tidak benar. Ini semua salah! Aku tak sanggup menyaksikan lebih jauh. Jeritan histeris Mama terdengar pilu.

"Jangan Farel. Farel, jangan pergi! Mama mohon, Nak. Fareeell!"

Aku terisak semakin kencang. Kudengar suara langkah kaki berjalan tergesa ke luar rumah. Raungan Mama tak juga menghentikan langkahnya. Kak Farel melewatiku. Terseok-seok, aku mengejarnya.

"Kakaaak!" Kucegat lengannya, memeluk punggungnya. Aku menggeleng cepat. "Jangan pergi! Jangan pergi!" Dia menghentikan langkahnya. Tubuhnya yang menegang mulai mengendur Dia membalikkan badan menghadapku. Wajahnya yang syarat akan luka. Kak Farel tersenyum sendu. tangan kokohnya mengelus kedua pipiku. 

"Terima kasih. karena kamu menyandarkan kakak pada satu hal yang penting. Ingat! Jangan berlarut pada lingkaran kebohongan. Karena sekali kamu masuk ke dalam, maka tak ada jalan keluar. Kebohongan kecil hanya akan melahirkan kebohongan yang lain. Jujurlah pada diri kamu sendiri! Percayalah pada hati kamu! Biar kebenaran yang membimbingnya. Jujurlah sepahit apapun kebenaran itu."

Aku masih memeluknya dalam tangis. Dia menghela napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya. "Dengarkan Kakak, Nirmala. Berjanjilah satu hal. Turuti apapun kata Oma. karena cuma dia yang tau yang terbaik untuk kamu."

Kak Farel mengurai pelukanku, dia berbalik pergi meninggalkanku.

Menghentikan taksi dan menghilang dengan cepat.

Aku bersimpuh. Tergugu.

***

Bagaiman bisa kak Farel berkata begitu, sedangkan dia sendiri memilih pergi?

Ini semua salahku. Kenapa harus orang lain juga yang menanggungnya?

Bodoh! Bodoh! Bodoh!

Seharusnya aku tak pernah mendorongnya melakukan hal itu. Seharusnya aku tak ikut campur sejak awal. 

Seharusnya.

Tapi semua sudah terjadi.

Kak Farel ternyata benar. Masalahnya tidak sesederhana memperjuangkan. Harus ada salah satu yang dikorbankan

Mengusap sisa tangisku. Ada seseorang yang lebih membutuhkanku sekarang.

Kulihat Mama yang tersedu di lantai setelah dijerat paksa Oma agar tak mengejar kakak tadi. Beliau memelukku. Menangis keras di pundakku. Aku menemaninya sampai puas dan tertidur.

Niatku mengurung diri dicegat juga. Oma memarahiku karena melanggar janji untuk tidak naik sepeda lagi dan terluka.

Aku membiarkan. Terlalu lelah untuk menanggapi. Toh, aku memang pantas dimarahi. Luka-lukaku diobati. Gurat kesedihan tampak jelas di wajahnya yang senja.

Aku tahu, wanita tua ini dilema, diantara mempercayai atau memaafkan. Tidak ada maksud bertindak keras. Wanita tua ini hanya mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar.

Oma merasa kehilangan, karena itu beliau memilih untuk membenci daripada mempercayai, alih-alih memaafkan.

Aku berharap memiliki kesempatan menghapus keresahannya. Oma layak untuk bahagia, juga terlepas dari kungkungan masa lalunya.

Papa datang tak lama setelah kegaduhan mereda. Wajahnya murka, meski tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Papa jelas menahannya. Dia mencintai anak istrinya, namun pantang baginya mengeraskan suara pada Ibunya. Aku selalu kagum dengan kebijaksanaan Papa. Selalu menghormati orang tua, juga selalu tau apa yang harus dilakukan untuk mendamaikan perang nantinya.

Aku memilih mengurung diri. Lelah memikirkan semua yang terjadi. Membenci diriku yang ini, lemah dan tak berdaya. Papa berdiri di balik pintu dengan senyum menenangkan. Matanya menyiratkan tanya, meski tak ada kata.

"Aku cuma ingin datang ke pameran itu sama teman-teman yang lain juga," jawabku.

"Bukan karena dia?" selidik papa. Suaranya tenang tak menghakimi.

Aku menggeleng. Memilih setengah berbohong padanya.

Kak Farel benar, kebohongan seperti candu, membuat orang mengulang lagi dan lagi.

Aku memang akan mengatakan sejujurnya, tapi nanti, karena ini belum waktunya berakhir.

Papa mengelus suraiku dengan sayang. Hatiku menghangat. Aku mengerti beliau juga lelah, tapi selalu sedia untuk kami. Aku bermanja, merasakan kehangatan dekapannya sampai terlelap.

Sebangun dari tidur. Tubuhku baru menunjukkan reaksi. Pegal-pegal kayak habis di keroyok massa setelah ketahuan mencuri.

Merenggangkan tubuhku. Aku memutuskan tetap pergi ke sekolah hari ini.

***

Tbc...

Souvenirs Inoubliables (Vers.HER) [Complete]Where stories live. Discover now