PROLOG

81 19 19
                                    

Cuma demi kepuasan diri. Ini loh tulisanku yang dulu hehehe.

___________________________________

Nyala kembang api berpendar-pendar dengan background netral warna gelap bersanding kerlap-kerlip bintang dan cahaya bulan

Iris matanya berbinar-binar serupa dengan warna langit yang kini dihujani pelangi.

"Ana, cepat kemari!"

Anak perempuan itu bergeming dari tempatnya berdiri, seolah terserap dan hanya ingin berada di dunia lain miliknya.

"Ana, ayo cepat, pengantinnya akan segera masuk!"

Sebuah lengan keibuan mengangkatnya tinggi di pundak, sekalipun begitu, pandangan Ana tetap lekat pada langit.

"Kamu di sini ya, Sayang. Berjejer sama Amira. Nanti kalau Amira tabur permen kamu juga ikut, ya."

Wanita berpostur tinggi, berambut pirang, dan berwajah cantik itu berujar pelan, setelah menurunkan gadis kecil dari gendongannya.
Gadis itu hanya mengangguk, kemudian tersenyum dengan gigi susunya yang tampak lebih besar di antara deretannya.

"Nah, Syarif, kamu barisnya sama Bagas di belakang Ana. Tolong jagain ya."

Kali ini seorang anak laki-laki kecil ditariknya menyejajari belakang gadis kecil tadi yang sekarang menghadap ke arahnya. Gadis itu kembali mempertontonkan barisan giginya yang masih baru tumbuh.

Anak laki-laki kecil yang rambutnya telah di model layaknya David Beckham dan memakai setelan jas hitam yang membuatnya tampak menggemaskan, hanya tersenyum kecil melihat kelakuan Ana di depannya.

Alunan melodi diputar, tanda bahwa pengantin telah memasuki ballroom acara. Suasana sangat meriah. Keempat anak itu berjalan melemparkan potongan kertas warna-warni beserta bungkusan-bungkusan kecil permen yang direspon begitu heboh sebagian tamu memunguti permen-permen yang jatuh di dekat mereka. Kemeriahan membaur bersama tawa anak-anak yang berebutan.

Pengantin akhirnya sampai di pelaminan. Ana dibuntuti Syarif yang masih mengingat pesan tantenya untuk menjaga gadis kecil ini, berlarian ke arah kue-kue yang telah disediakan. Ana menjinjitkan kakinya mencoba menjangkau meja yamg sebenarnya hanya sepangkal paha orang dewasa dengan kesulitan.

"Baiklah Ana, kau  mau  kue apa?"

Ana mendelik lucu menatap anak di depannya berbicara kepadanya.

"Apa Anda berbicala pada caya? caya kila Anda tidak dapat bebicala."

Ana berbicara dengan nada sangat kaku, patah-patah dengan logat cadelnya yang imut. Syarif tergelak dibuatnya.

"Tidak perlu memanggilku Anda, panggil aku Syarif. Kamu Ana, 'kan?"

Gadis kecil itu menatap Syarif bingung dengan sodoran tangannya untuk bersalaman. Ia menyampirkan rambutnya ke belakang telinga beberapa kali, lalu tersenyum manis.

"Benal, aku Ana. Namaku Ana, umulku tiga tahun-- Eh, tidak! Umulku tiga tahun setengah, hobiku membaca, menulis. Cita-citaku...." Ana merincikan tentang dirinya. Syarif merasa bosan dan buru-buru memotong celotehan Ana.

"Baiklah Ana, sudah cukup perkenalannya. Apa kau mau kue coklat?"

"Mau-mau."

Syarif mengambil potongan kue yang terletak paling pinggir dan mudah dijangkau olehnya.

"Telima kasih. O, ya! Belapa umul Syalif?"

"Umulku lima setengah tahun," jawabnya menirukan gaya bicara Ana dan tertawa kemudian. Ana juga ikut tertawa entah karena apa.

"Syalif, ayo kita ke sana!"

Ana berlari bahkan tanpa persetujuan darinya. Terpaksa, anak laki-laki itu mengikutinya kembali.
Ana tengah berdiri menghadap ke arah bingkai bunga ucapan selamat yang cukup tinggi. Ia berusaha membaca tulisan yang paling besar dan sesekali menyampir rambutnya ke belakang-- kebiasaannya ketika bingung atau gugup.

"Benazir, Ana"

Gadis itu menoleh dan menggembungkan pipinya merasa telah didahului. Syarif sudah tahu, bahkan sebelum membaca tulisan tersebut. Karena itu adalah nama tantenya sendiri yang sekarang tengah duduk di pelaminan.

"Sudah, jangan cemberut begitu, nanti gigimu ompong loh!" Syarif berujar sok yakin.

"Enggak-enggak, aku enggak mau jadi ompong."

Ana menutup mulutnya, takut ucapan Syarif menjadi kenyataan. Syarif tersenyum miring, senang bisa menjahili Ana.

"Jadi, sekarang ayo duduk dan makan kue ini."

Pria kecil itu menyodorkan kue yang sejak tadi dipegangnya. Keduanya akhirnya duduk dan memakan kue cokelat.

Ana sekali lagi membuat Syarif tergelak melihat sisa krim di sela-sela gigi putihnya.

Ana bangkit secara tiba-tiba dan mengacak-acak rambutnya. Syarif merengut kesal.

"Kenapa kamu mengacak rambutku, hah?"

"Hehe... lambut Syalif jelek kalau begitu. Lebih bagus begini."

Ana mengusap rambut Syarif dan mengubahnya menjadi belahan pinggir.

"Nah, Syalif jadi hensem 'kan"

Syarif mengernyit bingung "Hensem apa?"

Kali ini Ana yang terkekeh tak jelas.
"Kata Oma, altinya ganteng."

Disebut seperti, wajah Syarif yang putih berubah merah muda.

Ana bingung melihat tingkah Syarif yang terus mengalihkan pandangannya tak mau menatapnya. Syarif sendiri masih tak habis pikir dan malu dengan perkataan Ana tadi.

"Kamu kenapa? Ooo, kamu sakit pelut ya? Pasti gala-gala makan kue cokelat? Uuuh, kue cokelat nakal!"

Ana menghentak-hentakkan kakinya menunjukkan ekspresi kesal, menggoyangkan gaun pink lebar berjumbai yang dia kenakan. Syarif menggelengkan kepalanya melihat tingkah gadis kecil itu.

"Ana! Ana!!"

Ana menoleh ke kanan ke kiri mencari sumber suara yang ternyata adalah ibunya. Wanita itu tampak pucat dan kebingungan.

"Di sini kamu rupanya. Ayo, Ana. Syarif, terima kasih sudah menjaga Ana."

Wanita itu dengan tergesa-gesa menggendong Ana kembali dan pergi menjauh sebelum sempat Syarif menjawab. Ia terheran dan sejujurnya sedikit tak rela.

Senyumnya kembali merekah ketika dilihatnya Ana melambaikan tangan dan tersenyum manis ke arahnya dalam gendongan. Dia melepas jepitan rambutnya dan melemparnya ke arah Syarif. Syarif yang tidak bisa menangkapnya memungutnya di lantai, dan saat dia mendongak gadis kecil itu sudah amat jauh dari pandangannya.

"Sampai berjumpa lagi, Ana," Syarif berucap pelan. Tidak mungkin didengar Ana yang telah menghilang tertelan keramaian pesta.

***

Souvenirs Inoubliables (Vers.HER) [Complete]Where stories live. Discover now