Chapter 16-Jadi Temenan Nih?

8 2 0
                                    

"Tolong! Tolong!"

Perlahan genggamannya terlepas. Lututku lemas. Aku jatuh bersimpuh di atas rerumputan. Hijau. Aku sudah kembali. Aku tersadar sekarang.

Aku selamat.

Suara pangeran putih penyelamatku, masih terdengar. Suara itu terdengar familier jika ditilik lebih jelas.

"Tolong, Pak. Kami dikejar penculik. Iya di sana, pake sepeda motor hitam."

Lalu, suara pentungan katrol, juga orang-orang berlarian bersusulan. Aku melihat sepasang sepatu hitam kini berada tepat di hadapanku. Aku mengusap bulir-bulir yang berjatuhan melewati pipi.

"Kamu gak apa-apa?" tanyanya.

"Kamu siapa?" tanyaku. Aku malu bahkan untuk mengangkat kepalaku.

Dia menghela napas. "Aku Niko, Nirmala. Kamu sudah sadar sekarang?"

Aku mendongak tak percaya. Pangeran putih dalam alam bawah sadarku adalah Niko? Yang bahkan hampir merenggang nyawa karena ketololanku?

Aku melihatnya. Lega, dia tak apa-apa. Menatap wajah khawatir itu, ada sesuatu yang bergetar di dalam dadaku. Dia menyuruhku bangkit, aku mencoba bangkit.

Aku terharu. Aku ingin memeluknya. Dorongan itu membuat tubuhku bergerak tanpa komando untuk membenamkan diri, menghirup lekat-lekat pakaian basah berbau lemon dan keringat.

"Terima kasih," ujarku, di sela-sela isakan.

Aku tak begitu paham posisi kami saat ini. Yang kutahu, dia hampir terjengkang, kalau bukan karena kakinya yang panjang menghujam tanah lebih dalam. Sedangkan aku, melingkarkan lenganku di pinggangnya.

Dia terdiam sebentar, terkejut mungkin, sebelum menarikku sedikit keras untuk melepaskan diri.

"Nirmala, kita gak boleh pelukan. Kita bukan mahrom," serunya nyaring.

Aku melongo dengan tampang bodoh. Mahrom itu, apa?

Aku tak bertanya, rasa maluku sudah menggumpal layaknya dodol. Nirmala dodol! Apa sih yang kupikirkan?

Awalnya aku merasa kehilangan, tetapi begitu dia mengatakannya, aku jadi mengerti. Dia punya alasan dan respect it!

"Ok. Sorry, tadi aku pegang tangan kamu. Sungguh, itu terpaksa, karena kamu kayak orang linglung sejak tadi. Aku gak tau ternyata kamu bisa sampai kehilangan orientasi kalau merasa takut."

Aku tercengang juga. Rasa malu menghimpitku kembali. Dadaku berdebur mendengar kata memegang, kutekan lagi, jangan di sini, detak jantung tolol!

Apa jantungku tak bisa melihat keadaan. Pertama, aku sudah terlalu lancang, tampak seperti cewek kacangan. Kedua, dia menolakku! Ketiga, dia terpaksa!

Aku mengekspresikan sakit hatiku dengan tangisan.

"Ma-maaf." Aku tertunduk teramat malu. Lagi, tangisku pecah. Kami bahkan tak menyadari suara ribut karena para begundal telah tertangkap.

Anak itu berdecak kesal. "Berhenti nangis, please!" Mohon Niko.

Tangisanku tak berhenti, aku justru semakin tergugu. Anak itu memberiku sebuah minuman, sampai aku menyadari, mataku membulat lagi, dan hampir saja aku menerjang batasan lagi.

Niko tampak merintih.

Dia luka di bagian pundaknya. Aku mengingat perkelahian tadi. Dia berdarah. Karenaku.

"Aku gak apa-apa," katanya, member isyarat oke, menyadari ringisannya terdengar olehku.

"Gak apa-apa, apanya?! Lihat, darahnya makin banyak keluar kan!" Luka itu memang telah dibalut dengan sapu tangan seadanya, tapi darah masih belum berhenti merembes. Perasaan malu sudah bermetamorfosa menjadi kepanikan. "Ini harus segera diobati. Kita harus ke rumah sakit!"

Souvenirs Inoubliables (Vers.HER) [Complete]Where stories live. Discover now