Verona Menyapa

301 7 0
                                    


"Kamu kenapa Rania?"

"Mas Reon, mas Reon mana Fatma, tadi aku lihat mas Reon di culik."

"Sudah, itu hanya mimpi buruk Rania, kamu tidur lagi ya, istigfar, Meludahlah ke kiri tiga kali."

Rania meludah ke kiri tiga kali, sembari mencoba untuk tenang kembali, ia menatap fatma lekat.

"Fatma, besok mas Reon jadi berangkat ke italia kan, aku sudah tak sanggup menahan rindu yang mungkin bisa membunuh ku ini"

Fatma terkejut, tak tau harus menjawab apa,di dalam hati ia ingin menangis melihat tatapan penuh harap dari Rania. namun dari mulutnya ia hanya bisa berkata "iya" bahwa Reon akan datang padanya, tidak, reon telah datang padanya, di dalam hatinya bersarang rasa.

Bingung sering meliputi Fatma yang melihat Rania sakit dua minggu terakhir, demam yang di deritanya tak kunjung sehat, meski seharusnya sudah harus sehat satu minggu yang lalu, dan mimisan pun sering di alaminya setiap malam, Rania hanya terlihat lesu, bukan karna sakitnya dan bukan karna obatnya ia akan sehat, namun akan kedatangan pujangga hatinya, maka itu lah obat sejatinya, yang bisa membuatnya kembali merasakan setiap inci kata bahagia, serta setiap liku rasa di kota cinta, Dengan orang yang selama ini ia nanti meski harus terkurung derita.

"Udah ngak sabar ni Fatma, aku ikut ya jemput kang mas dan dik Hilya."

" ngk usah Rania biar Fatma dan teman teman Mu'allaf yang menjemput, Rania istirahat saja, siapkan rumah, untuk menyambut suami tercinta, dan berdandanlah secantik mungkin untuk suamimu."

Rania meng iyakan saran Fatma

sungguh sebenarnya Fatma tak sanggub mengucap itu, mengucapkan perihal tunggu kepada orang yang sebenarnya telah pergi dari rasa dan dunia penuh cinta ini. mengucap berhias kepada orang yang sebenarnya ia tunggu telah di sisi sang tuhan.

Ke'adaan rumah peninggalan Abi itu terlihat semakin lengang, semenjak kepergian Reon, Hilya seperti kehilangan seluruh kehidupannya, tak pernah ada lagi senyum pada wajah itu, Hilya hanya murung, atau terduduk pada kursi goyang peninggalan abi yang dahulu sering di duduki Reon.

Hari itu akhirnya datang menjemput, Hilya sempat menangis, mengingat dengan Reon lah seharusnya ia pergi waktu itu, namun karna kehendak tuhan ia harus menguatkan diri untuk pergi sendiri.

Mobil Toyota Alphard datang menjemput kepergian Hilya, karena Hilya mendapat beasiswa penuh, Hilya di jemput oleh pemerintah, seakan sebagai bentuk penghargaan kepada anak bangsa yang berprestasi pada bangsa, sekaligus sebagai contoh bagi penerus negri kepulauan itu.

"Nak..." Ummi mengelus lembut kepala Hilya.

"Iya ummi"

"Ini ada sebuah catatan dari kang masmu, ummi ngeliat kang mas mu menulis ini sehari setelah kepergian nak Rania ke italia, ummi belum tau isinya apa, nanti klo sudah sampai ke Verona kasih lah surat itu pada nak Rania."

"Iya ummi." Hilya mengambil selembar catatan itu, memasukksannya dalam tasnya, seakan ia ingin melihat isinya, namun ia urungkan, surat itu di buat untuk orang yang di cintai oleh kang masnya sebagai kekasih, bukan dirinya.

Bandara terlihat ramai, seperti biasanya, hari hari libur sekolah, banyak orang yang menghabiskan waktu dengan jalan jalan. terminal bandara pun di penuhi sesak oleh ribuan warga indonesia.

"Ummi...ummi jaga diri baik baik ya ummi, ummi jaga makan, ummi harus kuat, Hilya bakalan pulang cepat ummi, jiika hal yang sebenarnya Hilya cari sudah rani temukan, Hilya bakalan pulang memeluk ummi kembali"

"Ia nak, kamu jaga makan, dan kesehatan kamu ya nak, ummi bantu di sini dengan doa, dan klo ada rezeki, ummi bakalan ngirim kamu jajan ya" umi berkata seadanya, berat hatinya melepas anak satu satunya itu pergi,kadang ia berkata. apakah ini jalan tuhan untuk mengambil anak nya yang terakhir, namun ia urungkan seribu prasangka karna ia yakin, setiap manusia hanya berjalan pada roda takdir nya masing masing.

Hilya hilang di telan jarak dan keramaian, ummi hanya menatap kepergian anaknya, setetes air mata mengaliri pipi ummi, ia menghapusnya cepat lantas tersenyum kala melihat Hilya dari kejauhan menatapnya.

Tepat pada hari perpisahan itu, ada dua tujuan Hilya pergi ke negara penuh sejarah italia; untuk mencari cinta yang telah lama pergi, dan mengirimkan kabar duka kepada wanita yang kini mungkin sedang di mabuk cinta menantikan kedatangan sang pujangga, yang pada kenyataanya tak kan mungkin datang umtuk selamanya.

Hilya lebih banyak menghabiskan waktu dengan tertidur di atas pesawat, Kadang ia menangis kala menatap keluar pesawat, Teringat akan derita akan kehidupan, namun sayub sayub ia selalu ingat, nasehat nasehat ummi yang selama ini menguatkannya.

Pesawat berhenti di bandara Alghero sardinia, verona. Rania turun dengan wajah datar, Tak tau harus ekspresi apa yang harus ia torehkan, rasa bahagia yang seharusnya ia ukirkan karna telah bisa mneginjakkan kaki ke negri orang, harus terhapuskan sebab derita yang mengiringi kepergian, di pintu keluar banyak orang yang menunggu dengan papan nama, Hilya sibuk mencari namanya, ia melihat nama nya.

Papan nama itu di pegang oleh seorang pria yang awalnya tak ia kenali, pria itu tersenyum, menatap Hilya yang menghampirinya.

"Hilya..?" pria itu bertanya kencang

Hilya mengangguk.

Tampa aba aba pria itu sontak memeluk Hilya, tak ingin melepaskannya, namun Hilya dengan kuat melepaskan pria itu, ia tak mengenalnya, pria itu mengangkat tangannya, melihatkan telapak tangannya yang terdapat sebuah tai lalat yang sangat di kenal Hilya

"Naldo... ?"

Pria itu mengangguk kencang, lalu lansung memeluk tubuh hilya kuat, tak ingin tubuh itu teerjatuh menahan derita, Naldo telah mendengar nasip orang yang selama ini di cintainya, namun karna keadaan ekonomi keluarga, Naldo harus berhenti kuliah dan harus bekerja demi keluarga, ayah Naldo meninggal setahun lalu, hingga tampa aba aba Naldo harus bertindak sebagai kepala rumah tangga.

"Kamu yang kuat ya Hil, ada aku di sini untuk mu, kuatlah Hilya"

Hilya menangis dalam pelukan itu, seakan semua deritanya tercurah pada air mata yang kini mengalir tiada henti, orang orang melihat aneh, haru , dan bingung akan keadaaan itu, Naldo sungguh merindui orang yang selami ini ingin ia jumpai, dan meminta maaf karna harus membuat Hilya yang menjemputnya di Italia.

Mereka duduk pada kursi tunggu di luar bandara, berbincang bincang kecil, sembari menunggu Fatma yang tak kunjung datang. Mereka menghabiskan waktu bersama, seakan rindu yang bertahun tahun terobati dengan pertemuan sementara itu.

"Hilya..." Fatma telah berdiri di hadapannaya

"Kak Fatma"

Fatma segera memeluk tubuh yang lemah itu, seakan ingin memberikan rasa kasih sayang agar wanita itu kuat, Seakan ia ingin meyakinkan bahwa masih banyak orang yang berdiri di sisnya dan menyayanginya.

"Itu siapa?" Fatma melirik Naldo yang kini telah berdiri di belakang mereka.

" itu Naldo kak, teman sma Hilya dulu, ia sekarang tinggal di Verona kak ."

Fatma mengangguk, paham akan penjelasan Hilya, awalnya ia takut, jika orang yang bersama Hilya itu adalah orang asing, namun semua itu seakan pudar mendengar penjelasan Hilya, mereka duduk sejenak, bercerita sekilas, Naldo menanyakan alamat Hilya di italia, lantas lansung pamit, lalu pergi minggalkan hilya bersama Fatma berdua.

"Gimana keadaan kak Rania kak?"

"Alhamdulillah setelah hari kedatangan Reon dekat ia sudah sedikit sehat, Udah mau jalan dan makan sendiri."

"Hilya harus bilang apa kak, sama kak Rania" Hilya menunduk, berlahan isak tangisnya terdengar.

"Tenang dik, bilang semuanya, katakan semuanya, biarlah tuhan yang akan menjelaskan takdir dari setiap hambanya"

Hilya mengangguk, lantas megikuti jalan Fatma di belakang, mereka menaiki mobil.

Suasana alam Verona sungguh indah, banyak gedung gedung bertingkat yang memberikan aksen kuno berdiri tegak pada kota Verona. Hilya tersenyum memandangi pemandangan itu, seakan ia bahagia bisa bertemu dengan Naldo yang baru saja di temuinya, malam itu mobil melaju kencang, malam telah larut mendatangkan bulan dalam kesunyian. Fatma dan Hilya penuh harap, semoga Rania telah tertidur.


Tangis SyurgaWhere stories live. Discover now