Ch. 1

3.1K 164 3
                                    

Menjadi kapten cheers tentu saja menjadi sebuah impian untuk semua murid perempuan di sekolah ini, tetapi tidak denganku. Aku tidak tahu mengapa aku bisa sampai pada titik ini, titik dimana aku menjadi kapten cheers, aku bahkan tidak tahu mengapa mereka memilihku. Namun, satu hal yang pasti, ayahku memiliki kendali besar pada sekolah ini. Jadi, dapat dimungkinkan jika mereka melakukannya karena aku telah memenuhi kriteria sosial yang mereka butuhkan.

"Ada acara setelah ini?" Jessie bertanya, sembari sibuk mengemasi seragam cheers nya. Yah, kami baru saja menyelesaikan latihan terakhir di minggu ini.

"Tidak," aku memang tidak memiliki acara apapun. Ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya, ibu tiriku juga terlalu gengsi untuk pergi denganku. Oh, perlu diingat jika aku juga membencinya.

"Mark mengadakan pesta malam ini, kau ikut?" Ugh, rasanya aku tidak tertarik sama sekali.

"Hei, kupikir Steve juga akan ada disana," Steve, kekasihku. Sebenarnya sudah cukup lama aku tidak berhubungan dengannya. Semenjak kejadian dimana dirinya memaksaku untuk melakukan hal yang tidak kuinginkan itu, aku memutuskan untuk menghindarinya. Seberapa besar usahanya untuk menghubungiku, sebesar itu pula aku menghindarinya.

"Aku sedang tidak ingin bertemu Steve," itu kenyataannya.

"Ayolah, Anne, dari pada kau tidak melakukan apapun," sebenarnya aku tidak ingin datang, tetapi mengingat apa yang kulakukan nantinya, terdiam dikamar dan memikirkan hal-hal tidak penting, atau bahkan memaksakan diri untuk tidur dengan meminum obat, membuatku berubah pikiran.

"Baiklah, aku akan ikut," Jessie tersenyum. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya dan mencoba mengetikkan sesuatu di sana. Entahlah apa yang dilakukannya.

"Kalau begitu kita bisa langsung ke rumahmu dan memilih baju-baju yang akan kita kenakan." aku tersenyum menanggapinya. Yah, seharusnya aku tahu jika ia memintaku ke pesta itu karena ada sesuatu yang diinginkannya dariku. Bagaimana bisa aku melupakan hal-hal itu?

***

"Bir?" aku menggeleng, menolak tawaran Jessie. Jujur saja, aku tidak pernah mencoba minuman beralkohol seperti itu, walau seluruh tim cheers atau seluruh anggota tim basket mungkin pernah melakukannya.

"Terima kasih atas bajunya," kami memang ke rumahku dan memilih baju yang kami kenakan untuk kemari. Ia memilih salah satu dress glamor yang terlalu minim yang diberikan ibu tiriku kepadaku sebagai ungkapan basa-basi sayangnya pada anak tirinya dihadapan ayahku. Aku benar-benar tidak keberatan jika Jessie meminta baju itu karena sudah sejak lama aku ingin memusnahkan dress yang mungkin akan membuatku terlihat seperti pelacur itu.

"Aku pergi sebentar ya?" aku mengangguk mengizinkannya.

Merasa kelelahan terus berdiri dikerumunan orang-orang, aku memutuskan untuk mendudukan diriku pada sebuah sofa yang ada di ruang tengah Mark. Jika ada seseorang yang masih mempertanyakan apakah ungkapan 'dalam keramaian, tetapi merasa kesepian' bisa terjadi, maka jawabannya ya, tentu saja bisa terjadi, karena saat ini aku sedang mengalaminya.

"Baby," sebuah tangan besar memeluk tubuhku dari belakang. Suara berat itu tentu saja sudah sangat familiar ditelingaku.

"Datang kemari untuk menemuiku?" ia mengecupi wajahku, membuatku merasa risih dibuatnya.

"Hentikan, Steve," ia memundurkan dirinya sembari mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.

"Baiklah, aku tidak akan menganggumu, tetapi ayolah... kita perlu bicara," ia mencoba meraih lenganku, tetapi aku menghindarinya.

"Ayolah, beri aku waktu sebentar saja, aku akan menjelaskan semuanya dan setelah itu, aku tidak akan menganggumu lagi," aku sebenarnya tidak ingin berbicara dengannya lagi, tetapi mendengar iming-iming tidak akan mengangguku lagi, membuatku terbuai dan bersedia berbicara dengannya.

Travis Mason [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang