Sebuah Kisah dari Pluto

Start from the beginning
                                    

"Kalau terbukti tampan nggak akan tuh jomblo selama 28 tahun," ledekku. Seingatku Umi pernah cerita, kalau selama hidupnya Sugus nggak pernah pacaran. Kasihan banget deh, Sugus nggak pernah merasakan di peluk cewek waktu di lampu merah atau teleponan berjam-jam sampai masing-masing tertidur. "Sashi boleh liat tangan Gus nggak?"

Sugus mengulurkan tangan kirinya, sedangkan tangan yang lain memegang setir. "Coba buka tangannya, Gus," titahku yang langsung diikuti oleh Sugus. Aku berpura-pura memasang wajah serius saat mengamati telapak tangannya. "Tuhkan Gus sampai lumutan karena nggak pernah dipakai buat genggam tangan cewek," ucapku sambil tertawa.

Tapi beberapa detik kemudian, tawaku terhenti. Dengan gerakan tiba-tiba Sugus menggenggam tanganku, menautkan jemari kami. "Udah nggak lumutan, kan? Kan udah genggam tangan cewek, tangan istri sendiri lagi." Perkataannya itu sukses membuat jantungku kembali abnormal. Benda seukuran genggaman tangan itu berdetak berkali-kali lipat dari biasanya saat ruas-ruas jemari kami saling mengisi satu sama lain.

Aku menarik tanganku, tapi nggak bisa, Sugus menggenggamnya dengan erat.

"Bukan cuma lumut yang luruh, tapi juga dosa-dosa kita berguguran dari celah-celah jari."

Huaaaah pipiku memanas. Bundaaa Sashi kenapa ya?

*****

Semenjak kejadian genggaman tangan, aku pura-pura tertidur. Sampai aku mendengar suara Mbak-mbak google maps memberi tahu kalau kami sudah sampai, Sugus menepuk-nepuk pipiku pelan sambil mengguncangkan tubuhku. Untuk mendalami akting, aku ngulet setelah itu mengucek kedua mata.

"Sudah sampai, Gus?" tanyaku dengan suara dibuat-buat seperti habis bangun tidur. Kalian pasti bertanya-tanya, kenapa harus pura-pura tidur? Iya, kan? Maunya aku sih pura-pura pingsan, tapi nggak punya alibi yang tepat. Hehe.

"Sudah, ayo turun." Tubuh Sugus mendekat ke arahku, aku hanya bisa menahan napas. Efek genggaman tangannya saja masih membuat jantungku kebat-kebit, lah ini dia seperti ingin menc—

Klik.

Ternyata dugaanku salah, Markonah. Sugus cuma mau melepas seatbelt ku saja.

Seharusnya bukan hanya lantai ndalem saja yang tadi ku sapu. Otakku juga perlu dibersihkan supaya nggak ngeres.

"Kok bengong? Ayo turun," titah Gus sekali lagi.

"Bukain pintunya," pintaku dengan nada manja. Demi apapun, aku sendiri saja mual mendengar suaraku barusan. Terlebih Sugus malah langsung membuka pintu di sampingnya, tanpa mempedulikanku.

Sugus nyebeliiin! Aku makan baru tahu rasa!

Aku memberengut sebal, seraya melipat kedua tangan di depan dada. Ingin mengumpat, tapi Sugus kan suami aku. Kalau Sugus ada apa-apa 'kan aku juga yang repot.

Tiba-tiba saja pintu di sampingku terbuka yang langsung menampilkan sosok Sugus. Dia memasang lengkungan sabit di wajahnya seraya berkata, "Silakan bidadari kecil."

Huh mentang-mentang tinggi. Iya aku tahu, aku hanya sebatas dadanya saja. Padahal kalau perbandingannya dengan cewek, aku ini termasuk tinggi loh. Memang Sugusnya saja yang raksasa.

"Kok cemberut?"

Aku nggak peduli. Aku tetap melangkah menuju pintu.

"Hey!" Sugus membuntuti, langkahku langsung terhenti saat Sugus menarik lenganku.

My Coldest GusWhere stories live. Discover now