Gara-gara Qurrotul Uyun

Depuis le début
                                    

Setelah mendengar ucapanku barusan, Sugus berjalan ke arah kamar mandi dengan sebelumnya seperti mengulum senyum. He? Aku nggak salah lihat kan Sugus tersenyum kepadaku?

****

"Sashiii."

Di depan masjid aku bertemu dengan Dwi dan double Leha yang juga ingin shalat. Mereka refleks memelukku dan mengamati tubuhku dari atas sampai bawah, takut ada yang hilang katanya, karena hampir satu minggu aku nggak terlihat.

"Kamu sudah sehat?" tanya Dwi. Aku mengangguk seraya tersenyum.

"Sudah dong, seperti apa yang kalian lihat."

"Syukurlah kalau gitu," ucap Leni.

"Iya, Alhamdulillah," lanjut Hani.

Aku melihat ke arah Dwi. Terakhir kali saat bersamanya dia terlihat sedih karena aku terang-terangan digendong Sugus. Tapi sekarang seperti nggak ada masalah apa-apa di antara aku, Dwi, dan Sugus.

"Wi, aku dan Gus ...," Aku menggantung kalimat, ragu ingin melanjutkannya.

"Aku sudah tahu semuanya," ucap Dwi santai seraya berjalan di sampingku.

Ha? Dwi sudah tahu kalau aku dan Sugus suami istri? Haduh bagaimana ini? Apa nanti seluruh penduduk pesantren akan membullyku?

"Gus sudah konfirmasi kalau kalian itu nggak ada hubungan apa-apa. Waktu itu Gus Omar refleks gendong kamu karena melihat kamu kesakitan," jelas Dwi.

Jadi Dwi belum tahu yang sebenarnya? Syukurlah semesta. Kalau sampai dia tahu aku nggak tahu apa yang akan terjadi.

"Kamu tahu nggak Sas, seisi pesantren heboh tau kamu digendong Gus Omar," cerita Leni yang ada di samping kananku.

"Heboh bagaimana?" tanyaku.

"Ya ada yang bilang kalian nggak pantas gendong-gendongan karena bukan mahram. Ada yang kepengin di posisi kamu. Ada juga yang cemburu sampai nangis di kamar," jelas Leni yang kontan mendapat sikutan dari Dwi. Aku tahu yang sampai menangis di kamar itu pasti Dwi.

"Maafin aku ya, Wi."

"Nggak papa, Sashi. Kalian kan nggak ada hubungan apa-apa. Aku masih punya kesempatan."

Wiii andai kamu tahu yang sebenarnya, apa kamu akan membenciku? Maafkan aku, Wi, sudah berbohong kepadamu.

Mereka juga bercerita karena kejadianku di kantin, Fika sering berpura-pura terjatuh saat Sugus lewat supaya ditolong olehnya. Tapi bukannya digendong sepertiku, Sugus malah memanggil santriwati yang lain untuk menolong si kulit lengkuas itu. Sungguh, kalau nggak ingat ada di masjid, aku ingin tertawa kencang mendengar ceritanya.

Setelah shalat kami berpisah. Karena aku terhitung masih baru, otomatis kitab yang aku pelajari berbeda dengan mereka. Hari ini aku ada kajian kitab Safinatun Najah dengan ustadzah Hilya. Denger-denger ustadzah Hilya juga menaruh hati pada Sugus. Duh, di pesantren ini hanya aku yang nggak naksir Sugus, tapi malah jadi istrinya. Sepertinya semesta senang sekali bercanda padaku.

Baru dimulai saja rasa kantuk sudah menyapa. Ujian dalam menuntut ilmu itu kalau nggak ngantuk ya malas. Tapi aku nggak boleh menurutinya, kata ayah mengutip perkataan Imam Syafi'i, "Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan". Untuk itu aku harus bisa menahan kantuk ini. Padahal kalau sudah di kamar, rasa kantuk itu menghilang entah ke mana. Duh, dasar aku!

My Coldest GusOù les histoires vivent. Découvrez maintenant