Aku kembali ke kamar setelah menyelesaikan semuanya. Teman-teman sekamarku terkejut melihat seluruh tubuhku basah kuyup. Ternyata mereka menungguku, dan memilih shalat Maghrib di kamar.

"Ya Allah, Sashi, kok bisa gini? Cepat ganti baju nanti kamu masuk angin," seru Dwi. Leni dan Hani mengangguk. Keduanya juga terlihat sama khawatirnya dengan Dwi, entah itu hanya perasaanku saja atau mereka benar-benar mengkhawatirkanku.

Aku pun mengganti pakaian. Seluruh tubuhku terasa dingin. Jari-jemariku juga sudah keriput karena terlalu lama terkena air. "Kalian kenapa nggak ke masjid?"

"Kami khawatir sama kamu Sashi. Kami mau di sini saja menemani kamu," ucap Hani dan diberi anggukkan oleh Dwi dan Leni.

"Kalau tim keamanan tahu, kalian bisa dihukum loh."

"Nggak papa, kan kalau dihukum bareng-bareng," sahut Dwi. Kami semua terkekeh.

Kami pun shalat Maghrib berjamaah di kamar, itupun sempit-sempitan. Untung saja tubuh kami semuanya kecil, jadinya muat.

"Sashi, di sini kamu nggak sendiri. Kamu punya kami. Kamu bisa curhat apapun kepada kami. Insya Allah semuanya aman," ucap Dwi sambil melipat mukenanya.

"Iya, Sas. Kami paham banget apa yang kamu rasakan. Di awal-awal memang nggak mudah beradaptasi di pesantren. Entah adaptasi tempat, atau pun teman-temannya. Untuk itu kami nggak mau kamu sendiri, saat ini kamu itu sudah menjadi keluarga kami," Hani menimpali.

Semesta, entah kenapa langit kembali mendung. Gerimis ingin terjatuh dari kedua mataku setelah mendengar ucapan mereka.

"Loh Sas kok nangis?"

Hujan terjatuh membasahi pipiku. Ditanya seperti itu malah semakin deras. "Boleh aku peluk kalian?"

"Uuuh boleh dong. Sini sini berpelukaaan." Di sela tangisku aku terkekeh karena kami berpelukan seperti teletubbies saja.

*****

Di depan sana Ustadz Abas menerangkan materi matematika. Tapi sama sekali pikiranku nggak berada di kelas melainkan jalan-jalan entah ke mana. Apalagi ditambah tubuhku lemas karena entah sudah berapa hari aku mogok makan. Aku sedang menghukum diriku sendiri entah karena apa.

Suasana kelas seketika menjadi ribut, termasuk Dwi yang duduk di sampingku ini. Dia sampai menyenggol lenganku, membuatku tersadar dari lamunan. "Gus Omar lewat," bisiknya.

Ternyata suasana riuh berasal dari dia. Aku berusaha nggak peduli. Sudah kubilang kan di bab ini aku nggak ingin menceritakannya.

"Masya Allah, ganteng banget. Itu orang apa bukan sii?"

"Gantengnya kok nggak nyantai gitu ya?"

"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan."

Biasa aja kali woy, nggak usah lebay gitu.

"Sudah-sudah! Semuanya perhatikan lagi ke depan!" Tegur Ustadz Abas pada kami semua.

Beberapa hari ini juga dia menggemparkan asrama putri, karena bolak-balik terus di depannya. Jangan tanya aku apa tujuannya itu, mana aku tahu. Mungkin saja dia mau tebar pesona. Dari ratusan santriwati, kurasa hanya aku yang nggak peduli akan hal itu.

Setelah kejadian tempo hari, selama beberapa hari ini aku nggak ke ndalem. Meskipun aku tahu, umi mencariku. Tapi kalau aku ke ndalem, pasti aku bertemu dengannya.

My Coldest GusWhere stories live. Discover now