Mengontrol Rasa

2.1K 111 7
                                    

Revisi

Tap bintang




Komen






Koreksi typo


Senantiasaku menemani jalan prosesmu
Bersediaku memberi pilihan akan bersama siapa kamu teruskan langkah hidupmu

-AR-

***

Sajadah biru gelap terbentang di bawah ranjang putih terang itu terlipat. Ritual ibadahnya ia sudahi tepat setelah surat 10 ayat utama dalam surat yang berarti  penghuni-penghuni gua itu ia baca.

"Dogan lo ngechat tu." Tutur Amila saat ia sengaja mengintip notifikasi ponsel milik Uliya.

Uliya hanya bergumam sembari meletakkan alat salatnya ke ladder hanger kayu jati yang menggantung di samping pintu.

Ponsel Uliya bergetar kembali, menampakkan nama yang semenit lalu muncul di jendela ponsel Uliya.

Melirik Uliya, ia mendapati sahabatnya itu sedang duduk di kursi belajar sembari membuka bungkus snack ringan rasa jagung bergambar tiger. "Dogan ngechat lagi tuuu!" Seru Amila.

Uliya memejamkan matanya. "Enggak usah kaya tarzan gitu." Ujarnya.

"Anjir, suara semerdu Datuk Siti Nurhaliza gini dibilang tarzan." Sahut Amila. Ia mengubah posisinya yang tadi berbaring miring menjadi duduk bersila.

"Lo lagi marahan sama dr. Ganteng?" Tanya Amila.

Mendengar pertanyaan Amila yang menurutnya tidak masuk akan itu membuat Uliya memutar badannya. "Emang gue punya alasan buat marahan sama dia?"

"Punya lah, lo cemburu karena liat dr. Ganteng jalan sama Mba-mba cantik yang mempersilakan lo buat cuci tangan itu." Sahut Amila dengan cepat.

Ujung bibir Uliya terangkat, membentuk senyum simpul.

Amila paham bahwa bibir tipis yang membentuk lekungan itu  menggambarkan kegetiran. "Senyum lo mengenaskan, anjir." Ucapnya, lalu mempause video yang ditonton dari ponselnya.

"Emang gue punya hak buat marah sama dia?"

Helaan napas terdengar sedikit keras. Amila menatap lurus Uliya. "Kalo lo tanya bukan sebagai murid, eum...lo tau maksud gue kan? Ya...lo enggak punya hak."

"Jadi, lo tanya sebagai murid atau bukan sebagai murid?"

Amila menunggu sahutan yang akan keluar dari mulut sahabatnya. Namun, yang ditunggu justru kembali memutar tubuhnya ke meja belajar.

"Oke, gue paham jawaban lo." Ucap Amila, lalu mengayunkan kakinya ke arah si perempuan yang sedang pura-pura tuli.

"Gue kira rasa suka lo ke dogan itu cuma kek buat pengisi kekosongan hati lo aja. Tapi, kayanya lo serius cinta sama doi ya?" Selidik Amila, mencondongkan badannya.

Uliya terjengit. "Enggak usah nyosor! Mulut lo bau jengkol." Ujarnya sembari membungkam mulut Amila.

Amila melotot "Dih, mana ada bau jengkol! Gue udah sikat gigi plus kumur pake laserin waktu lo maghriban." tururnya, mengelak.

"Pinter banget! Kumur pake obat batuk."

"Gue kira si dogan suka sama lo, eh pas liat adegan tadi di mall, kayanya dugaan gue salah."

"Mana si mba nya cantik, ngomongnya halus, senyumnya tulus, aduuuh kayanya si dogan sukanya sama dia nggak sih?"

"Paling bikin candu itu senyumnya sih, parah sopan bangeeeet."

    KEMBALI (REVISI)Where stories live. Discover now