Chapter 17: Here You Are

363 69 9
                                    

-Halvor Hamid-

"Aku mau kembali ke Inggris! Aku akan lapor polisi! Ini semua tidak masuk akal!" Si bocah berteriak tidak karuan. Aku berusaha menyibukkan diri membuat tempat ini sedikit lebih layak untuk kami pakai beristirahat.

Sejak kejadian siang tadi, kejadian di mana kami jatuh ke laut dan berakhir di sebuah kubangan air dangkal di dalam gua yang harus aku akui, tidak masuk akal apalagi di sekitar sini tidak ada sumber air, ini gua yang kering, dan anak yang bernama Eustace itu tidak berhenti mengeluh tentang semua hal yang bisa dia keluhkan... berteriak tidak jelas ke arah batu yang membuatnya tersandung atau burung tak bersalah yang sedang bertengger di sebuah pohon di depan gua sambil berjalan keluar masuk berkali-kali.

"Nak, nak. Tenanglah. Kau kira aku tidak kaget? Aku juga tahu kalau ini tidak masuk akal. Kita baru saja keluar dari kubangan air setinggi mata kaki dan aku tahu ini semua tidak masuk akal, kau kira aku senang mendengar ocehanmu itu?"

Dia berbalik memarahiku. "Kenapa kau begitu santai? Apa kau tahu di mana kita?! Aku akan melaporkanmu karena telah menculikku!" teriaknya.

Reaksinya membuatku makin malas melayani anak ini. Apa pun itu, aku harus berusaha mencari anak-anak lainnya. Aku harus membawa anak ini kembali ke keluarganya. Aku harus tahu di mana kami berada. "Baiklah kalau begitu. Kita tidak akan diam. Sekarang, ikut aku!" jawabku sambil berjalan pergi. Aku agak kaget anak itu tidak bertanya kenapa dia harus mengikutiku tapi dia tetap berjaln di belakangku.

Setelah beberapa puluh menit kami berjalan, kadang aku mendengar dia berbisik mengoceh sesuatu tapi aku tahu dia sudah lelah mengoceh sejak tadi siang. Langkahku terhenti saat-

"Aaaahhh!" Anak yang kini ku ingat bernama Eustace ini berteriak seperti anak perempuan.

Saat aku berbalik, sebuah panah tertancap ke pohon dan berada tepat di depan wajahnya. "Siapa di sana?!" tanya seseorang dari balik pohon tak begitu jauh dari kami.

Aku menjawab dengan agak gugup. "Kami... pengelana! Kami tersesat. Kami tidak bermaksud melukai siapa pun." Sepertinya orang itu mengerti. Dia keluar dari balik pohon dan mengomando beberapa orang dan berjalan mendekati kami.

Dia menjawab, "Maafkan aku. Aku kira kalian bersenjata... sepertinya... tidak. Kau tidak apa-apa, dik?"

Seperti dugaanku, anak itu mulai mengoceh lagi. "Dia baik-baik saja, nak."

Aku sempat memperhatikannya. Pria muda yang gagah, berambut dan bermata cokelat. Dia memiliki wajah seperti orang Eropa, ia juga membawa sebilah pedang di sabuknya dan senjata crossbow di tangannya. Dari apa yang kulihat, senjata yang dia bawa sangat mengintimidasi tapi aku yakin dia anak baik. "Bapak tidak apa-apa?" tanyanya lagi.

Aku memberinya senyuman dan mengangguk. "Aku juga baik-baik saja. Maafkan aku, anak itu memang senang mengeluh. Jangan diambil hati."

Perkataanku membuat dia terkekeh. Untuk sesaat dia memandangku seakan-akan ada sesuatu yang aneh denganku. "Maafkan kalau aku lancang, tapi pakaianmu sangat tidak familiar dengan pakaian penduduk negeri ini. Dari mana kalian berasal?"

"Amerika! Kami dari Amerika! Sebenarnya aku dari Inggris! Kau tahu apa? Aku hanya ingin pulang!" Eustace menjawab panik.

"Inggris? Aku pernah mendengar tempat itu sebelumnya."

Dari wajahnya aku bisa melihat bahwa ada sesuatu tentang dia dan 'Inggris' dan dia berusaha mengingat sesuatu. Itu membuat Eustace sedikit tenang. "Kau tahu... Inggris... Ada jam Big Ben di sana. Negara yang ada di dekat Prancis, Belanda," Eustace mencoba menebak-nebak. "Mungkin sekarang kita ada di Spanyol? Mereka terlihat seperti orang Spanyol... atau Italia."

"Italia? Jangan-jangan kalian dari dunia yang berbeda!" jawabnya kaget.

Eustace menghentikan ocehannya dan bertanya, "Memangnya kami di mana?"

"Wilayah ini termasuk ke dalam wilayah kekuasaan monarki Narnia. Sekarang aku ingat Inggris dan Italia. Kedua wilayah itu ada di dunia yang berbeda," Dia mengajak kami dan 'pasukan'nya duduk beristirahat dan mulai bercerita. "Beberapa tahun yang lalu, di tengah peperangan, kami mendapatkan tamu yang... tak terduga. Empat kakak beradik dari Inggris dan dua kakak beradik dari Italia. Kami terlibat dalam peperangan tapi kami memenangkannya. Pada akhirnya mereka harus kembali ke dunia mereka. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada mereka di sana tapi aku mengharapkan beberapa dari mereka akan kembali untuk mengisi takhta lama mereka tapi, di sinilah kau. Perkenalkan, aku Caspian. Raja Narnia," jelasnya. Ini membuatku yakin kalau aku bisa mempercayai anak ini.

Aku dengan reflek menunduk dan meminta maaf karena tidak memanggilnya dengan gelarnya. "Tidak apa, aku mengerti," jawabnya sambil tersenyum.

"Perkenalkan, tuanku, aku Halvor Hamid dan anak ini Eustace."

Eustace mengenalkan dirinya. "Eustace Scrubb... dan aku ingin pulang kerumah," jawabnya sambil menggerutu.

Aku hanya bisa menghela nafas. "Aku tahu, aku tahu. Jangan banyak mengeluh. Mengeluh tidak akan menyelesaikan apa pun, nak. Aku akan mencari cara untuk mengembalikanmu ke keluargamu."

Raja itu memberiku tatapan heran. "Kau tidak menculiknya kan?"

Eustace menjawab, "Tidak... tapi rasanya seperti diculik."

Raja itu melihat ke arahku seakan-akan meminta penjelasan. Tentu aku mulai menjelaskan sebisaku. "Semuanya terjadi terlalu cepat. Ada sebuah... kecelakaan terjadi yang membuat kami tercebur ke laut, tapi kami berakhir keluar dari kubangan air di sebuah gua, tidak begitu jauh dari sini."

Eustace protes, "Kecelakaan? Kau tahu kejadian itu lebih dari kecelakaan. Orang-orang membawa senjata api, pak... dan seorang pria bermuka sangar mencoba membunuh kita! Menendang jatuh jembatan kayu untuk membunuh enam orang sekaligus, aku kira itu bukan kecelakaan!" membuatku tepuk jidat karena dia berterus terang terlalu cepat.

"Seseorang mencoba membunuh kalian? Enam orang? Lalu di mana empat orang lainnya? Siapa saja mereka? Mungkin kami bisa membantu kalian menemukan mereka. Kita bisa membuat pengumuman ke seluruh penjuru negeri, harap-harap mereka benar terdampar di Narnia juga." Raja itu bertanya sambil mencoba memberitahu bawahan bawahannya untuk membuat pengumuman itu secepatnya.

Aku masih berusaha untuk hati-hati, tapi aku menjelaskan intinya. "Aku tidak yakin kalau aku benar-benar mengenal mereka. Aku baru bertemu mereka saat mengantarkan mereka ke pelabuhan. Siapa nama lengkap saudara dan saudarimu, Eustace?"

Eustace mengambil nafas panjang dan berat seakan-akan merasa terbebani hanya dengan menyebut nama mereka. "Pevensie.... Lu-"

"Pevensie? Seperti... Susan Pevensie? Peter, Lucy dan Edmund Pevensie?" Raja Caspian melotot kaget dan pasukannya pun saling berbisik.

Eustace mengangkat bahu. "Ya... bagaimana kau tahu soal mereka? Tapi sebenarnya hanya... Lucy dan Edmund Pevensie... dan ada dua orang lainnya yang aku tidak tahu. Seorang pria dan gadis lainnya."

Aku menjawab ragu, "Ehem... aku hanya tahu kalau si pria mengaku namanya John Page. Dia... aku yakin dia berbohong, dia bukan orang Amerika."

"Seperti apa rupa mereka? Mungkin mereka juga orang yang aku tunggu. Katakan padaku, apa yang sang kakak memiliki rambut merah? Adiknya, gadis berambut cokelat tua dan mata mereka berwarna hijau? Mungkin kalian sempat sadar kalau... Edmund Pevensie dan si gadis sangat dekat? Apa betul?" Raja Caspian menjawab dengan sedikit bersemangat.

Aku mengiyakan. "Seingatku... seperti itu. Aku sempat melihat mereka tertidur lelap berdua di kursi belakang mobilku," jawabku sambil terkekeh mengingat mereka.

"Tidak salah lagi. Mereka pasti Phylarchus dan Luna Di Ilios. Mereka juga pernah ke sini di waktu yang bersamaan. Saat perang itu... Kemungkinan besar mereka ada di sini. Di Narnia. Kita harus segera mencari mereka. Kalian bisa ikut aku ke istana. Kita akan menemukan mereka." Raja Caspian itu tersenyum sumringah.

Aku sempat keheranan karena dia terlihat sangat senang mendengar nama anak-anak itu, tapi aku dan Eustace mengikutinya. Tak lama, kami menemukan tempat mereka meletakkan kuda-kuda mereka dan kami menunggangi kuda menuju ke istana yang Raja Caspian sebutkan. Dia juga masih sempat bertanya, "Apa itu... mobil?"

Ini akan menjadi pengalaman yang menarik.

Lost In Time: Martyrs (BOOK 2)Where stories live. Discover now