Chapter 4: The L & L Diner

636 104 13
                                    

-Luna-

New York, Amerika Serikat - 1951

"Pelayan! Aku pesan segelas kopi hitam," pinta salah satu pria tidak jauh dari tempatku berdiri.

"Segera, tuan!"

Sekarang jam pulang kantor dan banyak pekerja mampir bersama kolega mereka. Kedai sangat penuh dan sibuk sedangkan kedai ini hanya memiliki dua koki dan satu barista dan dua pelayan. Aku dan teman-teman pegawaiku sibuk dengan pesanan tanpa henti itu.

Lonceng pintu kedai berbunyi. Aku melihat seorang pria berjas dengan topi menutupi sebagian wajahnya masuk dan mengambil tempatnya di salah satu kursi kosong di sudut ruangan. Karena aku sibuk, aku meminta pelayan lainnya, Audrey McMichael untuk melayaninya. "Audrey... umm, tolong ya meja yang... itu," pintaku padanya. Dia terkekeh karena aku sibuk dan panik sendiri. Audrey adalah tetanggaku di apartemen. Apartemen kami terletak di balik bangunan kedai tapi kami harus selalu memutar jalan.

Dari kejauhan aku dapat melihat Audrey melayani pria itu dan beberapa pelanggan yang duduk di dekatnya. "Max, satu gelas kopi hitam dan... Umm... Oh, tiga gelas teh lemon, dan dua croissant original. Malam-malam begini ada yang makan croissant? Amerika memang aneh," bisikku kepada barista kedai, Maximilian Wilson.

Dia terkekeh. " Tenanglah, aku tahu kau baru pindah ke sini beberapa minggu yang lalu, tapi kau bekerja jauh lebih baik dari mantan-mantan pelayan kedai sebelumnya. Kau akan terbiasa."

"Hehehe, iya, ini pertama kalinya kita mendapat pelanggan sebanyak ini. Hah... ini pertama kalinya aku mendapatkan pekerjaan apa pun."

"Kau sangat pandai beradaptasi, kau tahu? Kau orang Italia tapi kau cukup fasih berbahasa Inggris. Aku masih bisa dengar sedikit logat aslimu... hanya sedikit... tapi aku yakin dengan lingkungan perkotaan seperti ini, tidak lama lagi kau akan terbiasa hidup seperti wanita Amerika," jawab Max.

Maximillian Wilson, dia tinggal satu lantai di bawah apartemen Phil. Mereka cukup akrab karena Phil sudah tinggal di sini sejak dua tahun yang lalu tapi bahkan Max hanya tahu kalau Phil kerja di "perusahaan telepon".

Aku beruntung bisa bertemu orang-orang ramah seperti mereka. Apalagi setelah melayani pelanggan dengan berbagai macam perilaku yang seringkali kurang menyenangkan dan fakta bahwa aku adalah imigran. Legal... ya... tapi imigran. Entahlah mengapa aku mudah kewalahan, mungkin aku terbiasa dengan kehidupan sunyi di kastil di tengah hutan. Maksudku, tentu aku bertemu orang di desa setiap kali aku keluar rumah, tapi ini berbeda. Sekarang aku dikelilingi orang-orang yang bermacam-macam keanehannya.

"Luna, tolong antarkan hidangan ini kepada wanita itu," pinta salah satu koki, Alan Knox sambil menunjuk ke arah wanita yang duduk seorang diri. Aku mengangguk dan mengantarkan pesanan ke meja itu. Wanita itu terlihat masih muda, aku sering melihatnya akhir-akhir ini. Aku memperhatikannya sambil mengambil pesanannya dan menatanya di atas nampan.

Aku melihat ia sedang memainkan cincin dijarinya saat aku berhenti di depan meja kecil tempat ia duduk. "Selamat malam, nyonya, ini pesanan anda." Aku mulai meletakkan pesanannya tapi pandanganku selalu beralih kepada cincin itu. Cincin itu sederhana namun cantik. "Cincin yang indah," ucapku memuji.

Dia terkekeh dan berkata, "Terima kasih, ini cincin tunanganku. Baru tadi pagi kekasihku memberikannya padaku." Sambil tersenyum ia bertanya, "Oh, ya, aku baru melihatmu di sekitar sini, apa kau baru pindah? Kau tidak terdengar seperti orang Amerika."

Aku mengangguk mengiyakan. "Aku baru pindah ke sini beberapa minggu yang lalu dari Italia. Apa kau selalu datang ke sini?" tanyaku penasaran.

"Ya, begitulah, walau kadang aku sibuk." Ia menyeruput sedikit minuman panasnya. "Harus aku akui, kau memiliki rambut yang indah, terlihat sangat terawat. Aku suka warna cokelat kemerahan rambutmu," pujinya.

"Terima kasih, rambutmu juga terlihat indah. Memiliki warna rambut gelap itu agak membosankan." Kami berdua tertawa kecil karena topik pembicaraan kami yang tidak terarah.

Ia menyimpan gelasnya dan bertanya, "Siapa namamu? Kau terlihat lebih muda dari pegawai lain. Pasti berat memulai hidupmu sendiri di kota besar." Tentu saja dia akan bertanya seperti ini. Aku memang jauh lebih muda dari pekerja lain.

Aku menunduk tersipu malu. "Tidak juga... dan... aku Luna. Kurasa itu hal yang menyenangkan, kau tahu, menemukan cintamu lebih cepat dari kebanyakan orang."

Ia tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Rona pipinya terlihat jelas dikulit pucatnya itu. "Betul... aku beruntung," jawabnya.

"Beberapa orang agak sulit ku hadapi tapi aku punya orang-orang yang membantuku di sini. Mungkin akan lebih mudah jika aku memiliki lebih banyak teman. Boleh aku tahu siapa namamu?" tanyaku.

"Aku? Oh, aku... Lucille Belgrave."

Lost In Time: Martyrs (BOOK 2)Where stories live. Discover now