Chapter 55: No More Blood, No More Martyr

107 26 6
                                    

"Tidak... belum! Kami masih membutuhkanmu!" bisik Luna panik, "Aku sudah memerintahkanmu untuk kembali padaku dan menceritakan semuanya!" Namun sebelum tuan Halvor Hamid dapat menjawab, ia menghebuskan nafas terakhirnya sebagai martir dimata para Narnian dan Archenlanders.

Luna tak sanggup menahan air mata meski ia mencoba menahan suara apa pun keluar dan mengganggu duel. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia menyandarkan tubuhnya di antara reruntuhan tempat duel. Dari kejauhan, semua orang ragu apa mereka harus menghampirinya atau tidak, namun suara Luna membuat mereka terdiam. Dengan penuh amarah ia berdiri bersamaan dengan suara ayunan dan benturan pedang Phil ia berteriak, "JANGAN BIARKAN MEREKA MENDUDUKI TAKHTA MANA PUN!"

Pedang Voronin terpental beberapa kaki dari tempatnya berdiri, dan sebelum Constance dapat mengambilnya, Phil menghalanginya dengan mata pedang mengarah ke leher Constance. "Tidak, pak tua."

Constance yang kalap mengalihkan pandangan pada Nazaam dan Nazaam mengeluarkan pedangnya, mengarahkannya kepada Phil. Edmund menegurnya, "Bukan lagi siapa yang lebih benar, tapi siapa yang paling diinginkan... dan sudah jelas, rakyatku dan warga Archenland tidak menginginkanmu berada ditanah mereka. Tarik mundur pasukanmu dan pimpin rakyatmu dalam damai."

"Kau tahu, meskipun aku mundur, suatu hari nanti aku masih bisa kembali untuk mengambil hakku," jawab Nazaam.

"Hakmu?" tanya Edmund.

"Lucille Belgrave Voronin adalah salah satu pewaris takhta Archenland dan dia adalah istri sahku. Nona Luna bahkan belum menikahimu, Raja Edmund. Kau belum bisa mewakili Archenland untuk berbicara."

"Yakinlah, Nazaam. Meskipun kau bisa melakukannya, aku tidak akan membiarkanmu. Meski aku harus kembali bersamamu ke Calormen. Hak itulah yang justru akan menahan kekuasaanmu. Aku hidup untuk menahanmu mengambil alih Archenland dan jika aku mati tak wajar, semua orang akan menghantuimu dengan namaku," ancam Lucille. "Jika kau mundur sekarang. Aku akan ikut denganmu. Keberadaanku di negerimu akan memberi sedikit belas kasih dari rakyat Archenland."

Edmund berbalik ke arahnya dan berbisik, "Apa kau yakin? Jauh dariku? Kau tidak memiliki perlindungan."

"Oh Edmund..." ucap Lucille. "Luna sangat beruntung memilikimu. Tapi ini sudah menjadi kewajibanku. Aku pergi ke mana pun suamiku pergi. Aku tidak akan menyebutnya takdir yang kejam, aku justru melihat peluang. Voronin, Di Ilios, dan Pevensie menjaga perdamaian dunia ini bersama. Bayangkanlah itu. Ada lebih banyak hal yang lebih penting dari kebahagiaan kita dan itu adalah perdamaian dunia."

Edmund mengangguk. Edmund tidak bisa menyangkal bahwa masih ada rasa jengkel atas perbuatan para Voronin terhadapnya, namun semuanya sudah berubah dan Edmund tidak ingin hidup penuh kebencian. Lagipula, 'Raja Edmund yang Adil' tidak ia dapatkan secara sembarangan. Memaafkan, memaklumi, berpikir jauh ke depan adalah sebuah keperluan untuk mencapai keadilan dan kedamaian, dan ia sangat paham dengan itu.

Edmund menawarkan, "Akan ku kirim delegasi Narnia untuk Calormen untuk memastikan kedamaian dipertahankan antara kedua negeri kita. Nazaam. Ini adalah kesempatan yang besar. Kau adalah seorang Raja. Kau tahu apa yang terbaik untuk semua orang. Negerimu tidak akan bisa hidup tanpa negeri kami dan kau tahu itu."

Nazaam terdiam cukup lama, namun ia mengantongi kembali pedangnya sambil berkata, "Baru kali ini, Raja Edmund. Aku melihat masa depan di bawah kepemimpinanku."

"BODOH!" Constance menghunuskan pedangnya ke dada Nazaam tanpa ragu.

"TIDAK!"

Suara jeritan Lucille menggema dilapangan membuat pasukan Nazaam bergidig. Kini mereka kehilangan pemimpin dan kehilangan arah. Kepercayaan bahwa wanita bisa memimpin di Calormen masih tabu. Rekap ulang masa lalunya seakan terlintas dikepala Edmund. Bagai duduk di tengah sinema menonton layar lebar menampilkan gambar hitam putih. Koneksi yang ia dapatkan saat memandangi Nazaam untuk menawarkan perdamaian putus seketika seakan dialah sendirilah yang tertusuk. Luna berlari memeluk Edmund sambil menariknya mundur untuk berdiri di belakangnya. Luna pikir jika Constance berani membunuh Nazaam, ia pasti berani membunuh Edmund.

Benar saja, Constance menggila dan mencoba menerjang Luna, namun Phil berhasil menghalau dengan perisai. Ia menghantamkan perisainya ke kepala Constance sehingga ia pingsan seketika. Edmund memeluk Luna erat. Menjauhkannya dari tubuh lemah Constance di sisi kiri mereka.

Phil berjalan ke arah Lucille lalu memanggil Valencia dan ikut berlutut disebelahnya. Lucille memangku bagian atas tubuh Nazaam dan membuka topi bajanya untuk mengelus kepalanya.

Valencia berlari sekuat tenaga namun ia tidak cukup cepat untuk menyelamatkan Nazaam. Nazaam menatap ke arah Lucille dan mengelus helaian rambutnya, dan hal terakhir yang berhasil Nazaam ucapkan adalah "maafkan aku."

Tak benar-benar ada cinta di antara mereka, ada hal yang membuat mereka akhirnya merasa bahwa mereka bisa mengerti satu sama lain, namun semuanya sudah terlambat.

Edmund berkata, "Martir, Lucille. Ia mati untuk perdamaian."

Air mata Lucille menetes untuk kesekian kalinya hariitu, ia merintih, "Tidak ada lagi darah yang akan mengalir malam ini. Tidakakan ada lagi martir."

Lost In Time: Martyrs (BOOK 2)Where stories live. Discover now