Chapter 49: Devoted to One and All

196 40 19
                                    

"Ada informasi baru?" tanya Edmund.

Damien menggeleng dan menjawa, "Tidak, Yang Mulia." Lalu ia berdiri diam di sisi belakang kanan Edmund yang sedang terduduk di bebatuan Aslan's How.

"Aku bisa merasakan kalau kau tidak mau berada di sini, Damien. Kau bisa kembali ke kastil jika kau mau. Aku tidak akan memaksamu," ucap Edmund masih sambil menatap ke ujung lapangan, memperhatikan apa pun yang bisa ia perhatikan.

Tentu saja Damien agak terkejut karena walaupun ia yang membantu Luna menyusup ke kastil Anvard, tapi ia juga salah satu orang yang sering meragukan kedatangan orang-orang ini. Terbukti dengan bagaimana ia bicara pada Lord Montreal mengenai kecurigaannya. Namun ia selalu mencoba menyingkirkan pikiran itu sejauh mungkin karena ia tidak punya tempat lain untuk tinggal jika ia tidak lagi bekerja untuk monarki Narnia. "Tidak, Yang Mulia. Aku memilih untuk berada di sini. Setidaknya aku akan mencoba," jawabnya. Edmund mengangguk dan terdiam lagi sambil sesekali mencari posisi baru untuk duduk.

Keheningan itu canggung, namun jauh lebih menenangkan dibanding yang Damien kira karena setelah beberapa menit berdiri melihat ke arah pasukan musuh jauh di depan mereka untuk berjaga-jaga jikalau mereka tiba-tiba menyerang, tidak ada yang terjadi, jadi ia ikut duduk sambil memainkan rumput di belakang Edmund.

Duel baru akan terjadi setidaknya enam jam lagi, namun keheningan seperti itu justru menimbulkan keresahan pada Edmund. Tidak ada bukti kerusuhan akan terjadi tapi hatinya tidak tenang. Seperti ada sesuatu yang buruk akan terjadi namun tidak ada tanda apa pun yang bisa terlihat.

Bahkan di kastil Telmar, hal yang sama pun terjadi. Hanya keheningan malam. Itu yang mereka semua dengar. Penjaga-penjaga menara sudah mencoba menggunakan teropong-teropong mereka untuk melihat apakah ada yang berusaha menyusup, namun tidak seperti sejam sebelumnya, gerak-gerik musuh itu menghilang, tapi mereka selalu ingat untuk tidak lengah. Luna yakin musuh-musuhnya mencoba untuk membuat pasukannya lelah menunggu, jadi Luna memerintahkan untuk membuat para penjaga melakukannya bergilir.

Tidak dengan dirinya sendiri. Luna meminta Lazzaro setidaknya duduk selagi menunggu, dan menyediakannya semangkuk air sedangkan ia sendiri hanya berdiri dan berjalan mundar-mandir di depan gerbang besi sambil sesekali terduduk lalu berdiri kembali dan Lucille yang melihatnya pun jadi tak tenang.

"Sebaiknya aku pergi keluar sana," usul Lucille.

"Tidak..." jawab Luna. "Terlalu berbahaya."

"Tidak... mereka akan tahu siapa aku. Mereka harus tahu siapa aku," protes Lucille.

Luna berbalik menghadapnya. "Kau tahu meskipun kau istri seorang kaisar Calormen, di sana, kau tidak memiliki kuasa apa pun terhadap politik. Itu kenyataan gelap kekaisaran itu. Kita tunggu sebuah tanda."

Malam ini jauh lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Itu yang dirasakan Luna. Entah itu karena cuaca atau karena suasana hatinya. Berdiri disebelah sepupunya yang pernah mencoba menghancurkan hidupnya bukanlah hal mudah. Lucille pun merasakan hal yang sama. Rasa bersalah memang menyelimutinya, namun tidak bisa dipungkiri kalau masih ada sisa-sisa kebencian dihatinya kepada keluarga Di Ilios yang masih berusaha ia hilangkan. Walau semua yang ia lakukan didasari oleh obsesinya pada Edmund yang ayahnya ciptakan, ia tahu masih ada rasa yang tersisa untuk teman masa kecilnya itu. Tapi bahkan ia tidak yakin Edmund menganggapnya seorang teman.

"Kapan pertama kali kau bertemu Edmund?" Luna berusaha mencairkan suasana yang tak tentu itu.

"Seingatku, sepuluh tahun yang lalu. 1941. Ayahku mengetahui bahwa anak-anak Pevensie adalah Raja dan Ratu Narnia setelah ia mendengarkan cerita mereka melalui tuan Digory Kirke. Kau pernah dengar?" Luna mengangguk, mengaku bahwa ia tidak mengenal profesor itu namun pernah mendengar namanya dari Edmund.

Lost In Time: Martyrs (BOOK 2)Where stories live. Discover now