Chapter 16: We Will Be Safe

382 71 9
                                    

"Lucy! Luna!" teriak Edmund. "Phil! Eustace! Tuan Hamid!"

Meski ia ragu kalau tuan Hamid dan Eustace akan berakhir di sini, ia terus berharap ada seseorang di sekitarnya. Dia berusaha mencerna situasi tapi arus searah mendorongnya.

Ini bukan laut, ini sungai, pikirnya.

Edmund mencoba berenang ke tepian tapi arusnya agak kuat dan membuatku sedikit kesusahan tapi aku berhasil menggapai sebuah batang pohon dan menepi. Terus berusaha mencari seseorang tapi tak ada seorang pun di sana. Tidak ada seorang pun di sungai.

Dalam hatinya ia mencoba untuk fokus. "Sekarang aku harus fokus. Kalau ini Narnia, seharusnya aku tahu bagian Narnia mana ini."

Ia melihat ke sekelilingnya dan berkata, "Tak salah lagi. Ini Great River."

Sungai ini merupakan sumber air terbesar sejak dahulu. Edmund merasa pasti akan ada satu atau dua orang sedang menggunakan airnya di suatu tempat dan kalau ia mengikutinya, mungkin ia bisa menemukan pemukiman.

"Argh..." Edmund mendengar suara perempuan meringis dari balik pohon. Bercak air mengarahkannya kepada sumber suara.

"Luna!" Ia langsung menghampirinya.

Luka berdarah di kepala Luna membuatnya merobek sedikit pakaianku dan membawanya ke pinggir sungai. "Sepertinya kau membentur tangga kapal saat kita ke sini tapi lukamu tidak terlalu parah. Sekarang masih siang. Walaupun begitu, aku tidak akan mengambil risiko berjalan terlalu lama dan jauh. Aku akan membuat api unggun da-"

"Edmund. Tenangkan dirimu. Aku baik-baik saja." Luna menghentikannya.

Ia baru sadar kalau ia berbicara sangat cepat. Luna tidak terheran, ia tahu Edmund sangat panik saat melihatnya seperti ini. "Aku harap kita punya baju yang kering dan selimut hangat tapi di sinilah kita. Di sinilah aku, Raja Edmund dengan setelan jas kantoran yang basah." Edmund terduduk di depannya. Dia melepaskan tas selempang dan jasnya yang basah kuyup. Dari kemeja putihnya, Edmund bisa melihat...

"Ehem..." dehem Edmund. Pipinya memerah malu begitu juga Luna.

"Oh, Ed. Maafkan aku." Luna berusaha menutupi dirinya dan memakai jasnya lagi.

"Tidak, tidak apa-apa. Cuacanya hangat, kau akan lebih kedinginan kalau kau pakai jas basah itu lagi. Biarkan jasnya kering. Aku akan cari kayu untuk api unggun jadi, jangan khawatir. Aku tidak akan macam-macam," canda Edmund. Namun saat ia berdiri, Luna memegang tanganku sambil mengalihkan pandangannya. "Jangan pergi. Jangan dulu."

Luna menarik dan memeluknya sambil bersender ke pohon. Edmund mengambil kesempatan itu untuk sesekali memeriksa luka di kepala Luna. Ia berhenti memeriksa dan menghela nafas. "Kurasa... selamat datang di Narnia."

"Ini Narnia?" tanya Luna.

"Iya. Dugaanku, ini Great River. Sungai ini salah satu sungai utama di Narnia. Kita bisa saja mengikuti sungai dan menemukan seseorang, tapi tidak sekarang. Aku lihat ada beberapa pohon apel di sekitar kita, nanti akan aku ambilkan. Kira-kira, Lucy dan Phil... apa mereka akan baik-baik saja ya? Kita bahkan tidak tahu apa sekarang mereka berakhir di Narnia atau masih bersama Voronin," jelasku.

"Jangan Voronin, ya tuhan. Selamatkan mereka semua... Phil, Lucy, dan... Tuan Hamid," keluh Luna.

"Dan si bocah ingusan, Eustace."

"Dan Eustace... siapa dia sebenarnya?"

"Sepupuku. Aku pernah tinggal dengannya di Cambridge."

Luna menguatkan genggamannya ke baju Edmund dan berkata, "Lima tahun kau mencariku tapi aku yakin lebih banyak cerita di tahun-tahun itu. Ceritakan padaku semuanya. Serinci mungkin, Edmund..." Luna menyenderkan kepalanya ke dada Edmund dan sekali lagi, wanita muda itu kembali membuat Edmund tersenyum dan tertawa, melupakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Walaupun begitu, Edmund merasa ragu untuk menceritakan hal-hal yang terjadi lima tahun terakhir terlalu rinci.

***

Jauh di tempat lain, Phil mencoba terus berenang ke tepian. Tiba-tiba Lucy muncul di sebelahnya. Phil berteriak, "Lucy! Berenang ke tepian!"

Mereka berdua menepi secepat mungkin. "Kau tidak apa-apa?" tanya Phil.

Lucy mengangguk dan bergetar menggigil. "Tidak apa-apa, aku rasa ada bagian kakiku yang akan memar, tapi aku baik-baik saja. Itu tadi sangat... Menegangkan. Kau sendiri tidak apa-apa?"

"Iya, aku tidak apa-apa. Aku rasa tadi aku membentur tangga tapi sekarang sudah tidak apa-apa. Luna dan Edmund tidak ada di sini. Aku harap mereka tidak jauh. Di mana kita sekarang?" Walaupun Phil tahu, tapi ia tetap bertanya.

Lucy terduduk di atas sebuah batu dan menjawab, "Aku rasa... tidak... aku yakin... ini Narnia. Hanya saja aku tidak yakin ini di bagian mana." Lucy agak terguncang setelah bergelantungan di tangga dan hampir jatuh, yang pada akhirnya dia jatuh ke air juga.

Phil memintanya untuk menunggu sambil melihat sebuah bukit yang letaknya tidak begitu jauh ataupun dekat dari posisi mereka duduk, tapi ia masih bisa melihat kalau di atasnya ada reruntuhan bangunan putih yang belum pernah ia lihat sebelumnya. "Lucy, apa kau mengenali reruntuhan di bukit itu?" tanyanya.

Lucy berdiri dan mengernyitkan dahinya. "Itu... reruntuhan Cair Paravel."

"Kastil tempat kalian berkuasa dulu? Jadi kita ada di Narnia?"

Lucy mengangguk. "Betul. Apa sebaiknya kita ke sana? Mungkin kita bisa menemukan seseorang atau melihat pemukiman terdekat."

"Kalau kau kuat, aku siap."

Lucy mengangguk mengiyakan. Walaupun mereka berdua yakin kalau mereka lebih ingin berlindung dari angin di balik batu, tapi matahari berada di atas mereka.

Jalan menuju reruntuhan penuh dengan keheningan. Mereka masih memproses apa yang telah terjadi. Phil berpikir, "Selama hari masih terang, kami akan baik-baik saja. Kami semua akan baik-baik saja. Iya kan?"

Lost In Time: Martyrs (BOOK 2)Where stories live. Discover now