Kutukan Semesta

Depuis le début
                                    

*****

Ayah dan bunda sudah tiba di pesantren, minus Aru karena dia harus sekolah. Semenjak keduanya sampai, aku nggak lepas dari bunda untuk terus memeluknya. Sedangkan ayah duduk dengan pak Kiayi dan mendengar penjelasan apa yang terjadi pada aku dan sugus. Ekspresi ayah sangat sulit kutebak. Ayah hanya memandangku sambil geleng-geleng kepala tak percaya. Bagaimana perasaannya aku nggak tahu. Lagi pula ngapain aku peduli perasaan ayah? Toh ayah nggak peduli perasaanku berada di tempat antah berantah ini.

"Saya setuju Pak Kiayi," ucap ayah saat diminta persetujuannya kalau sugus mau menikahiku. Aneh ayah itu, aku berhubungan dengan cowok yang kusuka dilarang, tapi dengan cowok yang sama sekali nggak aku kenal malah disetujui. Ayah mungkin sudah nggak menganggapku anak lagi. Anak ayah cuma Arusha, sepertinya aku sudah dicoret dari kartu keluarga.

"Gus mahar apa yang akan kamu berikan pada Sashi?" tanya Pak Kiayi. Aku ikut memandangnya setengah ogah-ogahan. Rasanya ingin sekali aku mencabik-cabik wajahnya itu, supaya dia tahu sedang berhadapan dengan siapa.

"Seperangkat alat shalat dan Al-qur'an yang saya beli di Mekah, Abi."

"Cuma itu? Sashi nggak mau!" Setelah menyanggah sugus, aku mendapat cubitan di perut dari bunda. Seumur hidup baru ini bunda berani mencubitku, hebat sekali si sugus itu bisa merubah karakter orangtuaku.

"Mahar apa yang kamu mau?" tawar sugus sambil melihat ke arahku.

"Uang seratus juta."

Semesta kau pasti tahu kan, aku tidak seperti itu. Itu cuma akal-akalanku saja supaya sugus nggak jadi menikahiku, karena nggak mampu dengan mahar yang aku ajukan. Semoga kau bisa paham, semesta.

"Sashi, sebaik-baik wanita adalah yang paling ringan maharnya," ucap bunda yang sepertinya ikut menilai aku matre. Maafin Sashi bunda, itu cuma cara agar sugus mundur, kok.

"Umi, titipan saya masih Umi simpan, kan?" Kali ini sugus berbicara pada Umi. Umi mengangguk dan setelah itu beringsut dari tempatnya. Entah titipan apa yang dimaksud aku nggak tahu.

Aku yakin sugus pasti nggak akan menyanggupinya. Dia mana punya uang sebanyak itu, apalagi memberikan dengan cuma-cuma kepadaku. Nggak mungkin, kan? Pasti nggak mungkin. Aku yakin pasti nggak mungkin.

Panik-panik ajaib.

Nggak lama kemudian Umi kembali dengan membawa sebuah kotak kayu. Benda itu langsung Umi berikan kepada sugus.

"Bunda benar," ujar sugus lagi. Idih, bisa-bisanya dia sudah panggil bundaku dengan sebutan bunda juga. Nggak ikhlas! "Sebaik-baiknya wanita adalah yang paling ringan maharnya. Tapi sebaik-baik lelaki adalah yang paling banyak memberikan mahar.

"Ringan yang dimaksud itu adalah mudah, bukan berarti murah. Bahkan Rasulullah SAW ketika hendak meminang Khadijah RA memberikan mahar 700 ekor unta. Selain itu saat menikahi istri-istrinya Rasulullah memberikan mahar 12 Uqiyah dan satu nasy. Yang semuanya bernilai 500 dirham. Kalau di konversikan mungkin sekarang bernilai 40 juta rupiah." Gus membuka kotak yang baru kutahu berisi permen coklat bentuk koin yang dibungkus kertas emas mirip seperti jajanan anak SD. "Saya nggak pegang uang cash 100 juta rupiah, tapi di kotak ini ada 50 koin emas dinar, kalau di rupiahkan lebih dari 100 juta."

What?! Maksudnya apa aku nggak ngerti.

"Insya Allah semua dinar ini akan saya berikan pada Sashi sebagai mahar."

Nggak mungkin! Semesta aku cuma bercanda. Tapi sepertinya kau nggak paham, ya?

Semesta jangan biarkan aku terjebak dalam permainanku sendiri.

Saat ini aku nggak bisa lagi menggagalkan rencana pernikahan ini. Semua persyaratan yang aku pinta sudah dipenuhi oleh sugus. Bagaimana bisa? Di kepalaku muncul berbagai macam pertanyaan yang nggak bisa kutemukan jawabannya.

Beberapa pengurus dipanggil untuk menjadi saksi pernikahan, termasuk teman ayah yang baru kutahu namanya Pak Zaid. Sebelumnya mereka harus berjanji untuk tutup mulut dan nggak berkata pada siapa pun tentang adanya ijab qabul pagi ini. Mahar berupa seperangkat alat shalat dan dinar sudah berada di atas meja. Sugus juga sudah menggenggam tangan ayah. Mendadak kepalaku pening, melihat pemandangan itu.

Kamera mana kamera? Aku nggak kuat.

Ayah mulai membaca basmalah, istigfar kemudian berlanjut syahadat. "Yaa Omar Al-Bana bin Ahmad. Uzawwijuka 'ala ma amarallahu min imsakin bima'rufin aw tasriihim bi ihsanin, Yaa Omar Al-Bana bin Ahmad?"

"Na'am."

"Ankahtuka wa zawwajtuka makhtubataka Sashi Liem binti Jonathan Liem bi mahri mushaf al-quran wa alatil 'ibadah wa khomsuun qith'atun minad dinar haalan."

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq."

"Sah?"

"SAH!"

"Alhamdulillah."

Tubuhku lemas seketika. Kalau saja aku nggak duduk di kursi, pasti sudah melorot ke lantai. Tapi aku bisa merasakan dekapan bunda yang begitu erat, dan ayah, kulihat sedang menyeka air matanya sendiri.

Simpul halal itu telah terikat dan tak ada satu orang pun yang bisa melepasnya. Aku telah sah menjadi istri orang. Aku bukanlah Sashi yang bebas bersenang-senang lagi karena mulai detik ini, tanggung jawabku sudah mulai bertambah. Dan detik ini juga kebencianku pada ayah semakin bertambah pula.

Pernikahan ini nggak lebih dari sekadar kutukan. Kutukan alam semesta bagi bulan yang meninggalkan buminya.

Alan, kita terlalu banyak bercanda tentang pluto. Dan sekarang semesta sedang mengutukku. Aku benar-benar diculik dan dinikahkan dengan baginda raja pluto. Aku nggak suka, Alan. Aku nggak suka!

Omong-omong soal Alan, bagaimana kalau dia tahu aku sudah menikah?

*****

Happy reading ❤




My Coldest GusOù les histoires vivent. Découvrez maintenant