35

444 47 6
                                    


Sesuai dengan perjanjian mereka sore kemarin di kala mendung, Gama dan Leo sudah bertemu di sebuah rumah kosong yang merupakan tempat yang sama di mana Arsen membawanya masuk ke dimensi sihir. Bedanya saat ini mereka tidak hanya berdua, melainkan berlima. Tiga orang tambahan itu adalah Apta, Ugra, dan Hira yang diluar dugaan langsung mempercayai apa yang Leo dapatkan dari Jingga dan setuju untuk berkomplot dengannya. Atau mungkin bisa disebut bekerjasama, karena berkomplot justru terdengar seperti mereka melakukan hal yang salah.

"Jadi ... apa yang akan lo rencanakan sekarang Leo?"

Hira, vampir itu mengawali pembicaraan mereka beberapa saat setelah mereka terkumpul dengan lengkap. Sebagai calon pemimpin yang baik tentu saja ia langsung berinisiatif memulai.

"Atau jangan-jangan lo belum punya rencana?"

Leo memutar bola matanya ke atas lalu memandang sinis laki-laki berwajah pintar itu. Siapapun yang melihatnya pasti akan langsung berpikir Hira adalah orang yang sangat berpendidikan.

"Gue udah punya rencana, dan yang bakal maju pertama untuk masuk ke restoran itu adalah Gama."

"Kenapa Gama?" Ugra si pendiam berambut cokelat akhirnya angkat bicara dengan mata yang mengarah ragu pada kawannya itu.

"Dasar pikun! Lo ini lupa atau bagaimana? Dari segi manapun Gama yang paling aman buat masuk ke sana mengingat apa kemampuannya," ejek Apta yang sama sekali tidak dipedulikan oleh Ugra karena kini ia justru menghadap ke arah Leo dan berusaha melupakan eksistensi Apta yang berada di sekitarnya.

"Belum naik tahta aja lo udah pikun kayak begini. Gue doain semoga lo nggak jadi pemimpin Agra," lanjut Apta yang langsung dibalas Ugra dengan melangkah lebar-lebar ke arahnya.

Tidak gentar dengan apa yang Ugra katakan barusan Apta tetap di posisi yang sama dan memandang vampir itu dengan mata berapi-api. Padahal setahu mereka dua orang ini tidak pernah punya masalah, atau jangan-jangan ini karena Apta yang suka cari masalah?

Awalnya Apta memang tidak gentar, namun itu semua berubah saat Ugra dengan semena-mena membuat tanah di sekitarnya retak. Mata Apta yang semula tadi menantang, kini berubah. Kini matanya memandang Ugra dengan memelas berharap akan diampuni, tapi sepertinya itu tidak membuat salah satu rekan Leo itu terpengaruh. Tanpa perasaan Ugra kembali menggerakkan kakinya dan membuat retakan yang mengelilinginya ambles dan membuat Apta terjatuh ke bawah dengan dinding tanah yang mengelilinginya.

Orang ini benar-benar tidak bisa bercanda.

Apta mengumpat dalam hati, lupa jika kemampuan Ugra berhubungan dengan tanah. Kalau begini Apta jadi bersyukur karena memutuskan menitipkan Ninja pada ayahnya walau sekarang ia sedikit khawatir. Khawatir jika ayahnya akan melakukan hal aneh-aneh pada Ninja, seperti mengajaknya jalan-jalan ke laut dan menaiki perahu hingga berimbas pada Ninja yang tercebur. Setidaknya itulah hal yang terjadi beberapa bulan lalu dan membuat Apta sedikit trauma.

"Hey! Ugra!! Balikin gue nggak!!"

Ancaman Apta yang sama sekali tidak berguna karena suaranya justru mendapat balasan sebuah tawa—yang mirip dengan mak lampir—dari atas sana. Apta dibuat dongkol hingga berakibat bibirnya yang monyong beberapa senti, tapi itu tidak lama karena beberapa saat kemudian tanah yang diinjaknya naik kembali ke permukaan.

"Lah! Gama mana?" tembak Apta saat menyadari ketiadaan salah satu temannya itu. Yang ada di sekitarnya justru Janma yang saat ini sedang menahan Jennie dengan lengan yang menekan ke arah leher dan membuatnya terlihat seperti kehabisan napas.

Apta menoleh ke arah Leo, Ugra, juga Hira yang tampak tegang dengan mata yang terfokus pada Janma dan Jennie. Leo bahkan sudah berkeringat dingin karena takut rekan heredisnya itu akan menyakiti kekasihnya

HIRAETHWhere stories live. Discover now